Oleh: Evin (Mahasiswa Ekonomi)
“a
“neoliberalism,” which would preserve laissez-faire markets while adding a role
for what they considered a minimal state. This minimal state would protect
private property, maintain order, and provide some protection for the poor. In
spite of its anti-state rhetoric, neoliberal policies were not meant to
eradicate the state, but rather to have forged a new kind of state;” - Friedrich
von Hayek
Tiongkok memulai pembangunan negaranya yang berdasarkan
ideologi komunisme dan sosialisme setelah Mao Zedong mengumumkan berdirinya
Republik Rakyat Tiongkok pada tanggal 1 Oktober 1949 Kemudian, pada tahun 1978, setelah
kematian Mao Zedong, Deng Xiaoping bersama dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT)
dan kekuatan kapitalis dunia kemudian melakukan liberalisasi perdagangan guna
meningkatkan perekonomian negara. Deng Xiaoping pernah mengungkapkan bahwa menjadi
kaya adalah mulia. Ungkapan memang sekedar ungkapan, namun nilai yang tertanam
di dalamnya sedikit- banyak telah mampu mendorong Tiongkok untuk tidak pernah
tanggung-tanggung dalam berinvestasi.Salah satu investasi terbesar Tiongkok
selama dekade ini adalah pembangunan One Belt One Road (OBOR).
One Belt One Road
(OBOR), untuk selanjutnya disebut OBOR, adalah sebuah jalur perdagangan dan
ekonomi baru yang menghubungkan Asia hingga Eropa dan terdiri dari
sekitar 60 negara yang melalui jalur sutra. OBOR memiliki dua prinsip utama,
yaitu Program ini bertujuan menghubungkan kekuatan ekonomi dengan
berlandaskan kekuatan ekonomi Tiongkok dan Rusia melalui pembangunan infrastruktur, perdagangan dan investasi. Poros ekonomi baru ini akan mewujudkan jalur sutera dengan melakukan dua poros sekaligus, yaitu "Silk Road Economic Belt" dan "Maritime Silk Road."
Jalur ini
berupa jaringan darat
dan kereta, jalur
pipa gas dan proyek infrastruktur lainnya
yang membentang dari Asia Tengah hingga Eropa Tengah sampai
Asia Barat dan Asia Selatan.
Serta jalur laut yang akan membentuk jaringan berupa proyek infrastruktur dari Asia Selatan ke Afrika Timur dan Laut Mediterania Utara. Ukuran OBOR akan menjadi sangat besar, meliputi 65 negara, 4,4 miliar jiwa dan 40% PDB dunia. Tiongkok,
sebagai pemrakarsa, telah mempersiapkan Silk Fund Road sebesar US$ 40 miliar.
Neo-Liberalisme. Berkaitan
dengan masalah pengaruh inisiasi OBOR terhadap perekonomian Indonesia, teori
Neo Liberalisme menjelaskan mengenai pentingnya hubungan kerja sama ekonomi
antara Tiongkok dan Indonesia. Pada dasarnya, inisiasi OBOR memiliki dimensi
politik dan ekonomi. Dalam bidang politik, Tiongkok menginisiasikan pembangunan
OBOR sebagai salah satu upaya politiknya guna menjadi negara yang berpengaruh
dan mengamankan posisinya di Asia. Sedangkan, dalam bidang ekonomi, OBOR
tentunya akan meningkatkan pendapatan nasional serta memajukan ekonomi
Tiongkok. Sedangkan, bagi Indonesia, inisiasi OBOR adalah tantangan baru bagi
posisi Indonesia dalam perpolitikan serta perekonomian dunia. Jika Indonesia
mampu menghadapi tantangan tersebut, maka Bargaining Power Indonesia di dunia
juga akan meningkat
Neo-liberalisme
Tiongkok pernah dibahas dalam buku “China’s Rise: Challenges and Opportunities”
yang ditulis oleh C. Fred Bergsten, Charles Freeman, Nicholas R. Lardy dan
Derek J. Mitchell pada tahun 2008. Buku ini membahas tentang perubahan Tiongkok
yang begitu signifikan sejak 36 tahun lalu. Pemerintah Tiongkok telah dengan
cerdas mengadopsi sistem politik dan perekonomian Neoliberal tanpa melepaskan
karakteristik budayanya. Selain itu, Fred juga mengungkapkan bahwa Tiongkok
mampu bersaing dengan Amerika Serikat sebagai negara adidaya di dunia tanpa
harus berperang.
Selain itu, Tiongkok
dan Indonesia sebagai negara yang juga mengadopsi aliran Neo Liberalisme dalam
sistem perekonomian-nya melihat bahwa peran negara dan aktor non-negara dapat
diseimbangkan guna mencapai kepentingan keduanya. Inisiasi OBOR dengan berbagai
aktor di dalamnya dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi Tiongkok dan
Indonesia. Pasar Internasional juga berpengaruh, di mana pembangunan OBOR akan
berdampak pada kebijakan ekonomi yang diambil oleh negara-negara di dunia,
terutama terhadap hubungan ekonominya dengan Indonesia.
Kerja sama
internasional adalah upaya yang perlu dilakukan untuk memperoleh Power,
terutama menurut aliran Neo Liberalisme. Kerja sama internasional adalah
hubungan timbal-balik yang terjadi antara negara-negara guna meningkatkan
hubungan baik dan mendapat keuntungan. Kerja sama dapat dilakukan antara dua
negara atau banyak negara melalui institusi internasional. Keuntungan dapat
diperoleh melalui kerja sama ekonomi. Kerja sama dapat pula ditingkatkan
melalui pembentukan institusi dan norma yang dapat dipatuhi bersama. Kerja sama
yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan keuntungan tentu dilakukan secara
rasional oleh negara maupun aktor non-negara. Namun, dalam hal ini, penulis
akan fokus pada kerja sama dalam bidang infrastruktur yang dilakukan oleh aktor
negara saja.
Menurut
Immanuel Kant, kerja sama adalah pilihan paling rasional yang dapat diambil
oleh sebuah negara. Pada sistem yang anarki, negara akan memilih pilihan yang
paling rasional guna mencapai kepentingan nasionalnya. Negara memilih bekerja
sama sebab hal tersebut dapat memenuhi kepentingannya. Dibandingkan dengan
konflik yang diungkapkan oleh Realis, kerja sama tampaknya lebih rasional.
Selain itu, konsep “Prisoner’s Dilemma” juga digunakan dalam Neo Liberalisme di
mana kerja sama menjadi penentunya. Inisiasi OBOR adalah kerja sama yang
dilakukan oleh Tiongkok dengan berbagai negara di dunia untuk membangun sebuah
jalur perdagangan yang pada zaman dahulu merupakan jalur yang dilewati oleh
pedagang dari Eropa ke Cina. Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah
mendorong Tiongkok untuk membangun kembali jalur tersebut dengan upaya untuk
memajukan perekonomian dunia serta menghidupkan kembali jalur sutra dan
menjadikannya jalur perekonomian terbesar di
dunia.
Sejarah. Pada
dasarnya, sejarah jalur sutra tidak terlepas dari sejarah Tiongkok. Peradaban
Tiongkok telah berusia ribuan tahun, bahkan sebelum Tiongkok menjadi negara
berdaulat. Wilayah di kawasan Asia ini telah mengalami pertempuran antara
kelompok Nomaden dan yang menetap. Para pengelana yang datang dari padang
rumput di bagian Barat Tiongkok menjarah gandum, biji- bijian dan sutra dari
desa-desa di wilayah Timur. Pada masa itu, bahan sutra yang umum di rumah-rumah
di Tiongkok sangat berharga bagi kelompok Nomaden. Bahan sutra umum di Tiongkok
sebab, teknik mengekstrak benang sutra, Serikultur, telah muncul di wilayah ini
sejak abad ketiga sebelum masehi.
Istilah
jalur sutra sendiri pertama kali diperkenalkan oleh ahli Geografi dan
penjelajah asal Jerman, Ferdinand von Richthofen, pada tahun 1877 Masehi, yang
menyebut rute tersebut sebagai 'Seidenstrasse' (jalan sutra) atau
'Seidenstrassen' (rute sutra). Jalur sutra adalah jaringan rute perdagangan
kuno yang didirikan secara resmi selama Dinasti Han yang menghubungkan kawasan
dunia kuno dari Asia ke Eropa dalam perdagangan antara tahun 130 SM – 1453 M.
Barang-barang yang dijual oleh pedagang Barat ke Asia antara lain, kuda,
anggur, anjing, bulu dan kulit binatang, madu, buah-buahan, barang pecah belah,
selimut wol, karpet, tekstil, emas, perak, unta, budak, senjata dan besi.
Sedangkan, barang yang dibeli oleh pedagang Barat dari Asia antara lain, sutra, teh, pewarna, batu berharga,
barang pecah belah, porselen, rempah-rempah, artefak perunggu dan emas, obat,
parfum, gading, beras, kertas dan bubuk mesiu.
Perkembangan Ekonomi Tiongkok. Pada
tahun 1966, Mao Zedong yang saat itu menjabat sebagai ketua Partai Komunis
Tiongkok (PKT) meluncurkan Revolusi Kebudayaan yang berlangsung hingga tahun
1976. Kebijakan
Mao tersebut menimbulkan pertikaian dalam masyarakat dan pada akhirnya
menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat Tiongkok. Namun, setelah kematian Mao,
Deng Xiaoping muncul dengan reformasi ekonomi sekitar tahun 1978. Ungkapan Deng
yang paling terkenal adalah“ tidak penting kucing itu berwarna putih atau
hitam, kalau ia pandai menangkap tikus, itulah kucing yang baik.” Jika Mao
menggunakan ideologi Komunisme dalam setiap kebijakan politik dan ekonominya,
Deng memiliki pandangan yang berbeda. Melihat kegagalan Mao, Deng memilih
menerapkan Kapitalisme dalam sistem perekonomian Tiongkok dan Komunisme dalam
sistem politiknya.
Salah
satu bentuk kebijakan “kapital” Deng Xiaoping adalah dengan membuka Tiongkok
terhadap dunia. Tiongkok mulai menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat,
Jepang dan negara-negara yang selama ini dimusuhi Mao. Reformasi ekonomi Deng
Xiaoping mulai membuahkan hasil. Pada tahun 1980-an, perekonomian Tiongkok
mulai bangkit atas dukungan dari peningkatan jumlah wira usaha yang tidak hanya
terdiri dari para pemilik pabrik, tetapi juga para pejabat pemerintah. PDB
Tiongkok yang pada tahun 1965 sebesar 6,4% meningkat menjadi 10,1% pada tahun
1980. Selanjutnya, pada tahun 1989, PDB kembali meningkat menjadi 11,5%. Pada
masa itu, produk Tiongkok mulai diminati dunia, terutama produk ringan, seperti
sepatu, pakaian, mainan, dan peralatan listrik kecil.
Perekonomian
Tiongkok terus berkembang pesat beberapa dekade setelahnya, terutama setelah
tahun 2000. Negara ini berubah dari negara miskin menjadi salah satu kekuatan
ekonomi dunia. Berdasarkan
data World Bank, Tiongkok adalah negara dengan PDB (berdasarkan nilai tukar)
terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat pada tahun 2017.
One Belt One
Road (OBOR). Robert G. Sutter dalam
bukunya yang berjudul China’s Rise in Asia menceritakan
kebangkitan
Tiongkok sebagai poros baru Asia dalam konteks ekonomi dan perdagangan global.
Semakin menguatnya pertumbuhan ekonomi negara yang kini dipimpin Presiden Xi
Jiping itu berhasil menjadikannya sebagai salah satu new
emerging force di kawasan
Asia, bahkan
dunia. Kesuksesan Tiongkok itu kini disertai
dengan ambisi ekspansi pengaruh ideologi pembangunan ekonomi yang tertuang
program OBOR. Proyek ini juga disebut-
sebut menjadi proyek jalur sutra abad 21 dengan ambisi untuk memperluas
jalur perdagangan ala Tiongkok.
Proyek yang diumumkan
Xi Jinping pada 2013 ini akan berfokus dalam pemanfaatan simpanan devisa
Tiongkok yang melimpah untuk memberi pinjaman kepada negara berkembang untuk
mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur yang akan melibatkan perusahaan-
perusahaan Tiongkok. Secara umum, OBOR bekerja dengan cara membuka
proposal kerja sama dari negara- negara yang menjadi targetnya dalam dua jenis, yaitu Silk Road Economic Belt (SREB) di darat dan Maritime Silk Road (MSR) di laut.
OBOR ditargetkan
menghabiskan
dana US$ 4,4 triliun (Rp 62,7 ribu triliun) yang
terbagi dalam berbagai proyek infrastruktur di 60 negara. Adapun dana dari Tiongkok akan dikucurkan dari tiga institusi utama, yaitu Export- Import Bank
of
China, Asia Infrastructure Investment Bank dan the Silk Road Fund.
Kepentingan dan dampak. Pada era
kepemimpinan Presiden Joko
Widodo, Indonesia memiliki
kedekatan terhadap Tiongkok bahkan dapat dikatakan peningkatan hubungan yang
cukup pesat. Bahkan terdapat stigma pada sebagian
masyarakat Indonesia bahwa
Indonesia terlalu banyak "berhutang"
terhadap Tiongkok dalam beberapa
kesempatan kerjasama
antara kedua negara tersebut. Lalu apakah
ada Indikasi Kerjasama OBOR dengan kepentingan Tiongkok di
Indonesia?
Pemerintah Indonesia
sangat gencar membangun infrastruktur. Salah satunya adalah program tol laut
agar tercipta konektivitas antar daerah. Program tol laut memiliki kesamaan
tujuan dengan jalur sutra maritim dalam program OBOR. Keduanya sama- sama
bertujuan memperkuat konektivitas dan mengintegrasikan perekonomian serta
diharapkan mendorong lebih banyak investor dari Tiongkok untuk berinvestasi di
Indonesia. Berdasarkan data BKPM, terdapat komitmen investasi sebesar US$ 52,3 miliar asal Tiongkok terhitung sejak 2010. Tetapi, realisasi
investasi sangat kecil hanya 10% .
Ketika Joko Widodo menjadi Presiden Indonesia pada tahun 2014, beliau mengebu- gebukan pembangunan Infrastruktur diseluruh penjuru negeri. Oleh sebab itu, beliau memutuskan untuk mengundang Investor sebanyak-
banyaknya. Indonesia membutuhkan dana yang besar
untuk membangun infrastruktur agar proses
perdagangan lintas negara melalui
jalur perairan dapat berjalan
dengan mudah dan cepat. Indonesia melihat OBOR
sebagai "Pahlawan" maksud disini ialah, OBOR hadir untuk menawarkan pembangunan infrastruktur dan berbagai investasi melalui koneksi yang dimiliki
oleh Tiongkok dalam sektor
perariran dan Perdagangan.
Namun, keberadaan proyek OBOR ini menimbulkan
berbagai macam kontroversi salah satunya terkait
adanya ketakutan akan terjadinya debt trap atau perangkap utang. Sri Lanka adalah salah satu Negara
peserta OBOR yang harus menyerah pada debt trap yang tercipta dari adanya OBOR
ini. Proyek Mattala Rajapaksa International Airport (MRIA) di Sri Lanka yang
menelan biaya pinjaman
sebesar US$ 190 juta (Rp 2,7 triliun) dengan bunga sebesar 6,3 persen tak mendapat keuntungan dari operasi bandara tersebut. Akibatnya,
pemerintah Sri Lanka justru merugi.
Hal tersebut membuat negara
tersebut tak mampu membayar hutang kepada Tiongkok. Sebagai konsekuensi atas ketidakmampuan membayar kredit maupun bunga, pada akhir Juni 2016 lalu,
Sri Lanka membuat perjanjian dengan Tiongkok berupa ekuitas
(menyerahkan lahan untuk disewa)
pelabuhan selama 99 tahun kepada negara
tersebut.
Bagi negara-negara berkembang,
sulit untuk tidak tergiur dengan tawaran Tiongkok. Lewat skema One Belt One
Road (OBOR), Negara yang dipimpin Ole Xi Jinping tersebut rela mengeluarkan
dana besar setiap tahunnya demi realisasi membnagkitkan kejayaan Jalur Sutra
Tiongkok. Dari 60 negar yang menjalin kerjasama dengan program OBOR, 37 negara
mempunyai peringkat investasi B atau bahkan tanpa peringkat. Artinya, 23 negara
lainnya yang masuk program OBOR punya potensi untuk terlilit debt trap atau
perangkap utang.
Kini, setelah 6 tahun program OBOR
berjalan, ada 8 negara dengan resiko krisis finansial paling tinggi. Yakni,
Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Djibouti, Krygystan, dan
Tajikistan. Diantara Negara-negara tersebut yang mengalami resiko krisis
terparah adalah Pakistan. Negara tersebut terikat perjanjian dengan Tiongkok-Pakistan
Econmic Corridor senilai 62 USD.
Namun
sayangnya, menurut Brahma Chellaney, apa yang dilakukan Tiongkok dengan OBOR- nya adalah upaya debt- trap diplomacy, di mana diplomasi jenis ini adalah hubungan bilateral yang terjalin atas dasar utang. Dalam operasinya, diplomasi jenis ini melibatkan satu negara kreditor yang secara sengaja memperpanjang kredit berlebihan ke negara debitor.
Jika negara debitor tidak
dapat memenuhi kewajiban
utangnya, sering
kali negara kreditor akan memungkinkan untuk ikut campur kondisi
ekonomi dan politik di negara debitor.
Lalu Bagaimana proyek OBOR di Indonesia?
Pemerintahan Jokowi memang cukup berani mengambil risiko
utang demi memuluskan rencana pembangunan infrastruktur di Indonesia. Berbagai pencapaian infrastruktur yang
telah diwujudkan di era pemerintahannya terbilang
cukup prestisius, di antaranya adalah Light Rail Transit (LRT) Palembang, Bandara Kertajati Bandung, hingga yang terbaru adalah Mass Rapid Transit (MRT) yang kini bisa dinikmati oleh warga Jakarta.
Namun, terdapat sebuah paradoks dalam konteks pembangunan infrastruktur tersebut, utamanya di wilayah Indonesia Timur. Dalam sebuah laporan terbaru di New Mandala, disebutkan
bahwa Jokowi kini menghadapi persoalan serius di wilayah
Indonesia Timur, di mana proyek infrastrukturnya ternyata
tak berbanding lurus dengan bangkitnya ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.
Dalam laporan yang ditulis oleh Emilianus Yakob Sese Tolo tersebut, disebutkan bahwa pembangunan infrastruktur Jokowi hanya terpusat di kawasan Sulawesi Selatan, utamanya Makassar
yang menjadi sentra aktivitas ekonomi di wilayah
timur. Akibatnya, daerah-
daerah di pelosok tidak merasakan dampak berarti dari proyek infrastruktur tersebut. Hal ini seolah
menunjukkan ketimpangan pembangunan yang cukup signifikan di wilayah timur Indonesia.
Hal tersebut Lain
lagi proyek LRT Palembang yang berpotensi bernasib sama dengan bandara di Sri
Lanka, dengan realitas sepinya pengunjung. Bahkan proyek ini harus merugi
dengan beban operasional yang mencapai Rp
8,9 miliar per bulan.
Kini, di tengah beberapa
proyek infrastruktur yang
bermasalah, pemerintah seperti tak henti- hentinya
berambisi untuk tetap mengajukan kerja sama dengan Tiongkok melalui program
OBOR- nya. Pemerintah sedang mewacanakan untuk menawarkan 28 proyek senilai Rp
1.296 triliun pada KTT OBOR pada April lalu. Jika dilihat, sejauh ini
investasi Tiongkok yang berkaitan dengan OBOR yang masuk ke Indonesia nilainya tak sampai US$ 5 miliar (Rp 71,3 triliun).
Sedangkan, menurut laporan Tempo, dalam pertemuan terbaru antara pemerintah RI dengan pihak Tiongkokdisebutkan bahwa negara
tersebut telah menyiapkan rancangan Framework Agreement. Indonesia yang
diwakili oleh Luhut Binsar Pandjaitan juga menegaskan bahwa proyek yang
dikerjasamakan tersebut murni dilakukan secara Business- to- Business (B2B).
Lalu,
bagaimana dengan Indonesia hari ini? Mungkinkah ambisi infrastruktur Jokowi
merupakan manifestasi dari ambisi OBOR di Asia? dan bagaimana dengan risiko debt- trap diplomacy yang harus
dihadapinya?
- Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Pedoman Dan Tata
Cara Izin Prinsip Penanaman Modal, Pasal 10 Ayat 1 & 3.
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
20
Tahun
2018 Tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 26 Ayat 1.
- Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
- Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
0 Response to "One Belt One Road (OBOR); Neo-Liberlisme dan Ambisi Besar Tiongkok"
Posting Komentar