Menurut lembaga Center for Middle Class Consumer Studies (CMCS)
dalam lima tahun terakhir kelompok Muslim kelas menengah di Indonesia mengalami
transformasi perilaku konsumsi. Tentunya bagi kalangan pengusaha, kondisi ini
merupakan pangsa pasar yang memiliki potensi keuntungan yang besar, dimana persentase
jumlah konsumen Muslim kelas menengah mencapai 87% dari jumlah penduduk
Indonesia (Yuswohady, 2014). Akibatnya, banyak pelaku usaha kecil maupun besar
turut melakukan transformasi strategi pemasaran produk dengan menyertakan sertifikasi
halal. Tingginya jumlah konsumen disebabkan karena faktor demografi kelompok
Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Berdasarkan Badan Pusat Statistik,
pada tahun 2015 persentase penduduk Indonesia yang beragama Islam sebesar 85%,
sehingga menyebabkan Indonesia sebagai negara dengan potensi pasar halal
terbesar di dunia.
Pola konsumsi kelompok Muslim kelas menengah telah berperan
meningkatkan prospek sejumlah industri
halal. Disisi lain, perkembangan industri halal juga didorong oleh kesadaran kelompok
Muslim untuk menerapkan ajaran dan konsep Islam, khususnya prinsip halal dalam berbagai
bidang kehidupan. Halal merupakan norma dalam agama Islam yang pada masa sekarang
mengalami pergeseran karena telah dianggap sebagai komodifikasi kebutuhan atau bahkan
penanda gaya hidup bagi kelompok Muslim kelas menengah.
Disamping menjadi konsumen produk halal terbesar di dunia, Indonesia
juga memiliki potensi menjadi produsen produk halal terbesar. Namun
kenyataannya, Indonesia belum mampu menguasai pasar global produk halal.
Indonesia menduduki peringkat keempat negara eksportir makanan halal setelah
Australia, Tiongkok, dan Selandia Baru[1]
yang notabene negara-negara tersebut bukan merupakan negara muslim. Selain itu,
minimnya dukungan dan penyelenggaraan sertifikasi produk halal oleh pemerintah.
Pemerintah tampaknya masih belum memanfaatkan potensi industri halal sebagai
pemasukan negara. Padahal, pendapatan ekonomi global pada bidang produk halal
diproyeksikan pada tahun 2020 mencapai 2,6 triliun dolar.
Tulisan ini berupaya untuk melakukan pengembangan kajian
sosiologi ekonomi mengenai perkembangan industri halal di Indonesia melalui
pendekatan institusionalisme baru (new institutionalism). Fokus tulisan
ini ialah mengenai fenomena transformasi perilaku konsumsi produk halal kelompok
Muslim kelas menengah disertai dengan respon pelaku usaha dan pemerintah
terhadap sertifikasi produk halal. Kemudian, menjelaskan peranan pendekatan
institusionalisme baru (new institutionalism) dalam perkembangan
industri halal.
Perspektif Sosiologi Ekonomi
Perkembangan ilmu-ilmu sosial beberapa dekade terakhir, muncul
sosiologi ekonomi sebagai multidisiplin ilmu sosial yang baru. Sosiologi
ekonomi dapat dianggap sebagai alternatif ilmu sosial dalam melihat persoalan
ekonomi di kelompok. Para ilmuwan sosial melihat bahwa ternyata terdapat faktor
non-ekonomi seperti konteks kekelompokan, yang mendorong atau bahkan menghambat
tindakan ekonomi. Sosiologi ekonomi memiliki beberapa perspektif dalam mempelajari
fenomena ekonomi yang ditinjau dari fokus studi diantaranya, perspektif
institusi sosial, perspektif jaringan sosial, dan perspektif kekuasaan dalam
kegiatan ekonomi (Achwan, 2014). Tulisan ini akan membahas mengenai salah satu perspektif
sosiologi ekonomi, yaitu perspektif institusi sosial dalam aliran kontemporer, tepatnya
pendekatan institusionalisme baru.
Weber merupakan tokoh aliran sosiologi ekonomi klasik. Weber
menggunakan pemikirannya yang khas mengenai keberagaman rasionalitas dalam
mempelajari tindakan ekonomi kelompok. Salah satunya ialah mengenai keterkaitan
antara institusi agama dengan institusi ekonomi yang kemudian melahirkan
kapitalisme modern. Achwan (2014) menyebutkan bahwa gagasan Weber menjadi
pijakan bagi ahli sosiologi ekonomi kontemporer. Banyak tokoh aliran sosiologi
ekonomi kontemporer tidak lagi menempatkan peran institusi agama dalam fenomena
ekonomi. Namun, dalam kasus perkembangan industri halal di Indonesia peran
institusi agama masih berperan penting dalam kehidupan ekonomi. Hal ini
menunjukkan bahwa gagasan kapitalisme modern yang mengesampingkan institusi
agama, tidak terjadi sepenuhnya di Indonesia.
Secara umum menunjukkan terdapat relevansi institusi agama dalam
mereproduksi sistem kapitalisme.
Aliran sosiologi ekonomi kontemporer tidak berdiri pada gagasan
aliran sosiologi ekonomi klasik, melainkan menggabungkan aliran sosiologi ekonomi
klasik dengan suatu pendekatan yang baru (Achwan, 2014). Seperti pada kerangka
konseptual perspektif institusi sosial yang digagas Victor Nee mengenai institusionalisme
baru, merupakan kritik dan pengayaan dari gagasan Granovetter mengenai jaringan
sosial. Gagasan Nee berawal dari bagaimana institusi berinteraksi dengan
jaringan dan norma sosial dalam mengarahkan tindakan ekonomi. Menurut Nee
(dalam Sila, 2009) institusi merupakan pedoman dalam struktur sosial untuk
melakukan tindakan bersama dengan cara mengatur kepentingan individu dan
memperkuat hubungan diantara individu, sehingga institusi dapat dikatakan
penentu dalam perilaku ekonomi. Dalam hal ini pendekatan institusionalisme baru,
menjelaskan bagaimana institusi memiliki peran penting dalam kegiatan ekonomi,
seperti melakukan strukturisasi transaksi sosial dan ekonomi serta memahami
dasar dari norma sosial, jaringan sosial, dan kepercayaan (Nurina, 2012).
Adapun konsep kunci Nee mengenai institusionalisme baru ialah
meletakan perhatian pada mekanisme sosial dimana aspek institusi formal dan institusi
informal saling berhubungan yang kemudian menjadi dasar bagi setiap manusia dalam
mencapai kepentingan ekonomi. Pendekatan ini memang memberikan ruang bagi
antarkelompok dalam mengejar kepentingan. Sederhananya, pendekatan
institusionalisme baru ingin menjawab bagaimana lingkungan institusional dapat
membentuk tindakan ekonomi (Achwan, 2014).
.
Dalam menjelaskan gagasan pendekatan institusionalisme baru,
Nee membangun model analisis sebagai berikut :
Sumber : (Nee dalam Mudiarta, 2009)
Model ini menggambarkan
bagaimana keterkaitan fungsi lingkungan institusional berupa institusi formal
di level makro berhubungan dengan institusi informal pada organisasi di level
meso dan individu-kelompok di level mikro dalam menentukan tindakan ekonomi.
Nee menjelaskan bahwa pada fokus level makro adalah negara dalam merumuskan
regulasi ekonomi. Level meso merujuk pada interaksi internal individu
antarorganisasi dan eksternal organisasi terhadap negara, sedangkan pada level
mikro berupa pola interaksi antarindividu dan kelompok (Achwan, 2014).
Konsep institusi formal yang dimaksud Nee terdiri dari
peraturan formal negara seperti undang-undang, sedangkan konsep institusi
informal berupa norma, nilai-nilai yang berasal dari konsepsi agama, jaringan
sosial, kelekatan sosial (Sila, 2009). Nee sangat menekankan pada hubungan yang
multilevel yang berdampak pada hubungan keselarasan (close coupling)
yang ditandai pada kondisi kesesuaian institusi informal berupa norma dan
kepentingan individu dan kelompok terhadap institusi formal berupa aturan negara terkait dengan tingkah
laku ekonomi, sedangkan hubungan ketidaklarasan (de-coupling)
ditunjukkan dengan pertentangan antara institusi informal dengan institusi
formal karena adanya perbedaan kepentingan individu atau kelompok dengan
regulasi yang dibuat oleh negara (Achwan, 2014).
Selanjutnya, agar penjelasan gagasan Nee mengenai pendekatan
institusionalisme baru dapat dilihat pada tabel intisari berikut;
Tabel 1. Prinsip Dasar Teori Institusionalisme Baru
Komponen
|
Deskripsi
|
Asumsi
|
Rationalitas terikat secara konteksual (context-bounded rationality),
aktor didorong oleh interest (kepentingan), dibentuk oleh kepercayaan,
norma, dan ikatan jaringan sosial.
|
Aktor
|
Organisasi;
Individu yang mengartikulasikan interest dan network dalam
organisasi.
|
Definisi Institusi
|
Sistem hubungan antara institusi formal dan informal, yang
memfasilitasi, mendorong dan mengatur tindakan ekonomi.
|
Mekanisme Level Makro
|
Undang-undang, peraturan pemerintah, mekanisme pasar, tindakan kolektif
|
Mekanisme Level Mikro
|
Tindakan individu dalam jaringan atau organisasi yang didorong oleh interest.
|
Sumber : Mudiarta (2009).
Pada intinya, gagasan pendekatan institusionalisme baru Nee
menekankan pada mekanisme sosial dalam hubungan antara institusi formal dan
informal yang disesuaikan dengan konteks sosial budaya tertentu dan menjadi
dasar pencapaian kepentingan ekonomi. Selain itu, kedua institusi ini memiliki
hubungan yang dialektis dalam mempengaruhi perilaku dan tindakan manusia pada
kegiatan ekonomi (Sila, 2009).
Perkembangan
Industri Halal di Indonesia
Industri halal di Indonesia berada pada 10 sektor,
diantaranya keuangan, makanan, wisata dan perjalanan, fashion, kosmetik,
obat-obatan, media, rekreasional, kebugaran, pendidikan dan seni budaya
(Siregar, 2017). Dalam sektor keuangan, Indonesia mengalami perkembangan
keuangan yang cukup baik. Ditandai dengan peningkatan bank umum syariah dan
lembaga keuangan syariah. Sejak didirikannya Bank Muamalat sebagai bank syariah
pertama di Indonesia pada tahun 1991, pertumbuhan Bank Muamalat terus mengalami
kenaikan yaitu hampir mencapai 40% setiap tahunnya. Angka pertumbuhan ini melebihi
pertumbuhan bank-bank konvensional (Yuswohady, 2014).
Peningkatan konsumsi kelompok Muslim kelas menengah menandai
transformasi pada pola konsumsi, salah satunya mengenai revolusi penggunaan
‘hijab’. Perubahan pola konsumsi ini berdampak pada pergeseran makna ‘hijab’
yang sebenarnya merupakan prinsip hukum dalam institusi agama sebagai perintah
penutup kepala bagi perempuan, kini diartikan oleh sebagian orang sebagai
komodifikasi produk fashion. Terlebih bagi kalangan kelompok Muslim
kelas menengah, hijab sebagai tren gaya hidup kelompok Muslim kelas
menengah yang modern, trendy, dan techy (Yuswohady, 2014). Disamping
produk hijab, diiringi pula dengan perkembangan produk kosmetik halal. Baik
produsen hijab maupun kosmetik halal, keduanya memanfaatkan pasar perempuan
Muslim kelas menengah.
Dari segi wisata dan perjalanan, beberapa wilayah di
Indonesia telah melakukan pengembangan pariwisata halal, yang meliputi wisata
alam, wisata budaya, dan wisata kuliner (Siregar, 2017). Selain terdapat
peningkatan wisata dalam negeri, terdapat pula peningkatan kunjungan wisata
keluar negeri yang dilakukan oleh sebagian kelompok Muslim kelas menengah,
seperti umroh dan haji. Perkembangan industri halal pada berbagai bidang ini
menunjukkan bahwa label halal telah menjadi faktor penting dalam pengambilan
keputusan oleh konsumen. Oleh karena itu perusahaan menjadi bersaing untuk
memberikan label halal pada produknya, sehingga berujung pada bisnis
sertifikasi halal.
Disisi lain, menurut laporan State of the Global Islamic
Economy tahun 2015, Indonesia merupakan konsumen produk halal terbesar di
dunia yang menduduki peringkat pertama. Hal ini menunjukkan dari sisi produksi
produk halal, Indonesia masih minim. Tingginya permintaan produk halal di dunia
tidak diiring dengan dukungan pemerintah (Hidayat, 2016). Berdasarkan temuan
yang didapat, perusahaan dan UMKM di Indonesia yang memiliki sertifikasi halal
masih sedikit, yaitu hanya sekitar 6.231 dari 57 juta total jumlah perusahaan
dan UMKM (Hidayat, 2016). Terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam
meningkatkan pemanfaatan produksi pada sektor industri halal[2],
diantaranya terkait dengan persoalan pembinaan, pelatihan, dan pendampingan
pelaku usaha produk UMKM. Sebagian besar pelaku usaha UMKM belum sepenuhnya
memahami pentingnya pelaksanaan dan manfaat sertifikasi halal.
Pandangan
Institusionalisme Baru terhadap Industri Halal di Indonesia
Tulisan ini akan berfokus menjelaskan peranan pendekatan
institusionalisme baru (new institutionalism) dalam perkembangan
industri halal di Indonesia. Industri halal di Indonesia secara tidak langsung tumbuh
dari implikasi transformasi pola konsumsi kelompok Muslim kelas menengah.
Tingginya pola konsumsi diakibatkan oleh meningkatnya pendapatan ekonomi kelompok
Muslim kelas menengah. Kondisi ini juga berdampak pada peningkatan status
pendidikan yang kemudian menimbulkan kesadaran penerapan prinsip halal,
sehingga turut menentukan tindakan kelompok Muslim kelas menengah dalam kegiatan
ekonomi. Institusi agama yang mengatur prinsip halal pada dasarnya berisi
kebaikan yang universal, karena melarang bahan-bahan produk yang membahayakan
kesehatan, seperti bangkai dan darah hewan yang disembelih dengan proses
penyembelihan yang benar dan bahan yang mengandung alkohol karena memabukkan.
Dengan jumlah kelompok Muslim kelas menengah yang paling
banyak diantara komposisi penduduk Indonesia lainnya, tentunya memberikan
pengaruh berupa respon balik dari pelaku usaha yang melihat kondisi ini sebagai
pasar yang menjanjikan keuntungan. Ditambah pula, pasar produk halal sedang
tumbuh subur di tingkat global. Seiring dengan fenomena konsumerisme, berbagai
produk halal bermunculan dan banyak diminati. Misalnya, produk kosmetik halal
dan hijab halal yang banyak diminati oleh perempuan dari seluruh kalangan. Diketahui
bahwa tren penjualan kosmetik halal mencapai 50% setiap tahunnya (Handayani,
2016). Berdasarkan studi Supriyadi (2005) mengenai pengaruh labelisasi halal
terhadap hasil penjualan produk makanan menunjukkan hubungan yang signifikan. Perusahaan
yang menerapkan sertifikasi halal biasanya mendapat keuntungan yang lebih
banyak.
Pemerintah juga memberikan respon terhadap perkembangan
industri halal yang tumbuh subur di Indonesia. Pada awalnya, kemunculan kelompok
Muslim kelas menengah merupakan dampak kondisi sosio-politik pada masa
pemerintahan sebelum reformasi. Sekitar tahun 1990-an pemerintah membentuk
organisasi ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) sebagai organisasi
intelektual Islam. Beberapa pandangan memandang bahwa terjadi penguatan
birokrat Islam di pemerintahan (Handayani, 2016). Mengenai industri halal,
pemerintah turut mendukung keberadaan industri halal di Indonesia. Ditandai
dengan keikutsertaan Kementerian Perdagangan dalam acara World Halal Day 2016
di Kroasia, perancangan UU Nomor 33 Tahun 2014 mengenai Jaminan Produk Halal
dan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai
lembaga yang berwenang dalam memberikan sertifikasi halal.
Pendekatan institusionalisme baru pada dasarnya memandang
kegiatan ekonomi dalam multilevel, level mikro, meso, dan makro, dengan
menekankan pada hubungan institusi formal dan institusi informal. Level mikro
ditandai dengan pola interaksi individu pada kelompok Muslim kelas menengah
yang berperan sebagai pelaku ekonomi yang dilandasi dengan norma (halal) dalam
institusi agama. Kemudian, pada tataran meso yang merupakan arena organisasi
ekonomi menyesuaikan tindakan ekonomi pada pola konsumsi kelompok Muslim kelas
menengah yang mengedepankan nilai halal. Para perusahaan dan UMKM pun melakukan
pertimbangan dengan memberikan sertifikasi halal pada produknya. Dalam
pendekatan institusionalisme baru, hubungan diantara level mikro dan meso yang
menghasilkan penyesuaian maupun pertimbangan tindakan ekonomi berdasarkan norma
merupakan bentuk institusi informal.
Akibat banyak munculnya berbagai organisasi ekonomi yang
mengedepankan sertifikasi produk halal sebagai upaya memperjuangkan kepentingan
kegiatan ekonomi ternyata telah menjadi jalan untuk mempengaruhi kebijakan
publik pada institusi negara. Melalui Kementerian Perdagangan yang memiliki
wewenang terhadap pengawasan organisasi ekonomi dengan dibantu organisasi Islam
yang diwakili Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengupayakan adanya peraturan
mengenai jaminan produk halal. Dalam hal ini, pada level makro atau lingkungan
institusional telah menghasilkan aturan resmi yang mengatur kegiatan ekonomi
industri halal. Aturan resmi yang tertuang dalam UU Nomor 3 Tahun 2014 mengenai
Jaminan Produk Halal merupakan bentuk institusi formal.
Nee menegaskan bahwa dalam hubungan institusi formal dan
informal dapat menghasilkan bentuk integrasi berupa keselarasan (close
coupling) maupun ketidakselarasan (de-coupling). Bentuk hubungan
multi level yang dihasilkan pada dalam kegiatan ekonomi industri halal berupa
keselarasan (close coupling). Hubungan ini ditunjukkan oleh peningkatan pola
konsumsi produk halal oleh kelompok Muslim kelas menengah dan pertimbangan yang
dilakukan organisasi ekonomi melalui sertifikasi halal. Didukung dengan
lingkungan institusional yang mengeluarkan aturan resmi berupa UU Jaminan
Produk Halal dan pembentukan lembaga (BPJPH).
Namun kenyataannya, peran pemerintah sebagai lingkungan
institusi formal dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penataan hak
organisasi ekonomi, koordinasi pasar dan perusahaan, dan integrasi aturan formal
dengan informal, belum optimal. Kondisi ini ditunjukkan dengan minimnya dukungan
pemerintah dalam merespon permintaan peningkatan produk halal di pasar global.
Apabila dibandingkan dengan perkembangan sertifikasi halal di negara lain,
telah mendapat dukungan dari pemerintah, kelompok, serta akademisi yang
berdampak pada pertambahan nilai produk. Persoalan kedua ialah belum adanya
sinergisasi antar instansi pemerintah dalam melakukan sertifikasi halal, dimana
terjadi tarik menarik urusan pemberian sertifikasi halal antara MUI dengan
BPJPH. Pemerintah seharusnya bergerak cepat dalam mendukung upaya peningkatan
sertifikasi halal pada UMKM agar Indonesia tidak menjadi konsumen ditengah
besarnya peluang peningkatan ekonomi pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN
(Hidayat, 2016).
Untuk mengoptimalisasi perkembangan industri halal di
Indonesia dalam persaingan di tingkat dunia memerlukan beberapa strategi,
diantaranya peningkatan branding Indonesia sebagai pusat halal lifestyle,
melakukan pengembangan sumber daya manusia mengenai produk halal, dan
bekerja sama dengan stakeholders terkait pengembangan industri halal.
Apabila upaya ini berhasil dilakukan maka akan berdampak pada peningkatan
perekonomian Indonesia (Siregar, 2017).
Kesimpulan
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia memiliki
potensi industri halal yang sangat besar. Namun apabila tidak dimanfaatkan
sebagai potensi peningkatan pendapatan ekonomi negara, maka Indonesia akan
terjebak pada pola konsumerisme. Peranan lingkungan institusional sangat
diperlukan. Peranan pendekatan institusionalisme baru dalam kajian sosiologi
ekonomi terhadap perkembangan industri halal berwujud pada pemetaan institusi
formal dan institusi informal dalam hubungan multi level diantara kelompok Muslim
kelas menengah, organisasi ekonomi, dan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah
yang berada di level makro dan mewakili lingkungan institusional memiliki
peranan yang lemah. Sebab, pemerintah belum mampu mengintegrasikan aturan resmi
dengan pelaksanaan kegiatan ekonomi di level meso maupun mikro. Ditandai dengan
lambannya dukungan terhadap permintaan produk halal dan pemberian sertifikasi
halal di tingkat ASEAN. Apabila pemerintah tidak segera menyadari lemahnya
peranan institusi formal, maka peran dapat diambil alih oleh sistem pasar dan
hilangnya pengawasan terhadap industri halal di Indonesia.
Daftar Pustaka
Achwan, Rochman.
(2014). “Sosiologi Ekonomi di Indonesia”. Jakarta: UI Press.
Hidayat, Reja.
2016. Menyingkirkan MUI, Mengambil Alih Sertifikasi halal https://tirto.id/menyingkirkan-mui-mengambil-alih-sertifikasi-halal-9ds diakses pada 18 Mei 2017
_______________.
Menjadi Penonton di Industri Halal.
https://tirto.id/menjadi-penonton-di-industri-halal-bsGP diakses pada tanggal 16 Mei 2017
_______________.
Ikhtiar MUI Pertahankan Sertifikasi Halal.
https://tirto.id/ikhtiar-mui-pertahankan-sertifikasi-halal-9dK diakses pada tanggal 18 Mei 2017
______________.
Indonesia Terus Tingkatkan Pangsa Pasar Produk Halal
https://tirto.id/indonesia-terus-tingkatkan-pangsa-pasar-produk-halal-zjH diakses pada tanggal 18 Mei 2017
Hidayani, Sri
Maulid. 2016. Kala Kosmetik Halal Jadi Jawara Pasar
https://tirto.id/kala-kosmetik-halal-jadi-jawara-pasar-brvB diakses pada tanggal 18 Mei 2017
Produk Halal RI
Belum Mendominasi http://www.kemenperin.go.id/artikel/1830/Produk-Halal-RI-Belum-Mendominasi diakses pada tanggal 15 Mei 2017
Sila, Muhammad Adlin. 2009. Institusionalisasi
Syariah Pada Lembaga Keuangan Mikro-Studi Sosiologis BMT Di Cipulir Dan BQ Di
Banda Aceh. Depok: Universitas Indonesia.
Supriyadi, Yayat. 2005. Pengaruh Kebijakan
Labelisasi Halal terhadap Hasil Penjualan Produk Industri Makanan dan Dampaknya
pada Ketahanan Perusahaan. Depok: Universitas Indonesia.
World Halal Day
2016
http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2016/11/10/world-halal-day-2016-produk-halal-kini-jadi-gaya-hidup-konsumen-dunia-id0-1478745817.pdf diakses pada tanggal 18 Mei 2017
Yuswohady. 2014.
Marketing to the Middle Class of Moslem http://www.yuswohady.com/2014/07/06/marketing-to-the-middle-class-moslem/ diakses pada tanggal 18 Mei 2017
[1] “Produk
Halal RI Belum Mendominasi”. http://www.kemenperin.go.id/artikel/1830/Produk-Halal-RI-Belum-Mendominasi
diakses pada tanggal 16 Mei 2017
[2] Menjadi Penonton Industri Halal. https://tirto.id/menjadi-penonton-di-industri-halal-bsGP
diakses pada tanggal 15 Mei 2017
0 Response to "Perkembangan Industri Halal dalam Perspektif Sosiologi Ekonomi : Ditinjau dari Pendekatan Institusionalisme Baru"
Posting Komentar