
Baik disadari maupun tidak, kita terlarut
dalam rutinitas menuntut ilmu yang cenderung kaku. Mayoritas lembaga pendidikan
kita telah membuat aturan yang mengikat peserta didiknya. Dan hal semacam itu
akan mendorong kita untuk lebih baik melakukan sesuatu dengan aturan yang
berlaku saja, dan tidak berani melakukan hal-hal yang aneh bin nyeleneh. Agar tidak mendapat marah atau dijatuhi
hukuman. Dan juga supaya tidak disebut anak nakal tidak taat aturan.
Rutinitas yang mengekang semacam itu,
pelan-pelan akhirnya akan membentuk kepribadian kita menjadi kurang fleksibel.
Kita pun menjadi kurang berani dan banyak ragu-ragu dalam mengambil keputusan
demi memecahkan masalah. Saya menganggap bahwa rutinitas semacam
itulah yang menjerat dan membelenggu saya. Semua aturan itulah yang menyulitkan
saya untuk merasa tidak ada masalah mengambil keputusan dengan jalan yang
dianggap tidak seharusnya.
Dalam perkuliahan misalnya, ada dosen
killer. Dosen killer yang saya artikan sebagai dosen galak yang seringkali
memberikan banyak tugas dan terlebih lagi dalam sistem pemberiaan nilainya.
Dosen yang seperti inilah yang seringkali menjadikan kita harus belajar sampai sakit-sakitan
agar kelak mendapat IPK 4. Hah? kecerdasan dinilai berdasarkan angka? Kualitas seseorang ditentukan oleh kuantitas? Tidak juga, buktinya ada juga
yang dalam pemberiaan nilai dengan huruf, bukan angka.
Disaat saya membuka digital dan membuka
sebuah platfrom, mendapati pertanyaan yang mungkin mulai dari kerajaan
Singosari hingga sekarang masih saja hangat diperbincangkan. Pertanyaannya
adalah “apa tujuanmu kuliah?”, begitulah pertanyaanya saudara-saudara. Disitu
juga terdapat sedikit quotes yang super Mario Teguh, begini katanya, ‘kalau
kamu kuliah tujuannya agar mendapat pekerjaan dan mendapat gaji yang diatas
UMK, maka kamu akan dibuat bungkam oleh bos perusahaan yang ternyata hanya
lulusan SMA, bahkan ada yang lulusan SD,
dan awkward moment ketika seseorang S2 melamar dikantornya. Maka, kuliahlah
untuk mencari ilmu’.
Oke, disini saya tidak akan menyalahkan
seseorang yang berstatement seperti yang diatas, dan barangkali anda sekalian
yang membaca ikut meng-amin-kan statement tersebut. Namun, disadari ataupun
tidak pernyataan tersebut menimbulkan nilai jual sarjana atau agar kita enteng
sebut saja ‘gengsi’. Tentu saja, seseorang yang mempunyai gelar yang WOW dan
banyak menorehkan prestasi kerja ditempat yang asal-asalan. Belum lagi mikirin
segera balik modal atas biaya yang dikeluarkan saat kuliah. Apalagi kalau sampai berfikiran kena julid saat reuni. masak
sih, lulusan dengan nilai yang baik dari kampus ternama malah kerja ditempat yang
sulit disombongkan di instagram.
Lagian orientasi setiap manusia itu
berbeda-beda. Ada yang kuliah serius agar mendapat ilmu seperti statement orang
yang diatas, ada yang hanya menghindari dari ke-uselles-an dirumah agar tetap
menjadi manusia yang fungsional, dan ada pula yang kuliah untuk sekadar
menikmati masa muda dan menjadikan wisuda sebuah pengalaman hidup. Dan kalian
pikir pekerjaan hanya kantoran dan perusahaan dari tamatan SD, SMA hah?
Meskipun demikian, orientasi semacam itu
jangan sekali-kali dijadikan defend yourself. Berarti kalau seringkali atau
beberapa kali boleh?, TIDAK! Misal, IPK itu cuman angka, tidak penting, tidak
menjamin masa depan, tidak menjamin kesuksesan. Silakan berkata demikian jika
IPK kalian cumlaude, lebih lagi jika sempurna, mendapat lima misalnya, kok
lima, itu IPK apa nilai matematika maalihhhhh, yauda sempurnanya empat. Jika
IPK kalian cumlaude aja tidak, apalagi dibawah tiga dan sama sekali belum mendapatkan pencapaian
hidup, ya, your talk is just rubbish, alias bacyooott. Coba fikir, teman kita
yang sudah capek belajar sampai kena tipes, lalu mendapatkan nilai bagus,
malah kena julid dan tidak diperbolehkan untuk bangga. Tidak adil bukan?
Dan juga yang senantiasa mengisi story
whatsapp saya adalah perkataan atau quotes dari Bob Sadino yang berbunyi, ‘Orang
pinter gampang cari kerja, dia jadi karyawan. Orang goblok susah cari kerja dia
buka usaha, akhirnya banyak orang pinter yang mempunyai bos orang goblok’,
begitulah bunyinya.
Saking seringnya sampai-sampai saya tidak
mengoperasikan handphone saya selama beberapa hari. Bukan karena malas terlebih
karena kehabisan kuota internet. Senang pasang quotes Bob Sadino tapi
sendirinya malas baca, gatau ya kalau beliau rajin membaca dan menemukan
refrensi untuk usaha ayam petelur dari majalah Belanda. Maka dari itu,
diperlukanlah kemampuan untuk menerima pandangan-pandangan agar kita sadar
bahwa faktanya tidak semua orang akan hidup dengan standar yang orang lain
buat.
Diatas tadi saya sudah mengatakan bahwa saya tidak
menyalahkan statement tersebut. Karena dalam kalimat ‘kuliah untuk mencari
ilmu’ ada benarnya juga, meskipun ada standar pemberian nilai dengan angka atau
huruf. HAHAHA.
Tapi, tak perlulah sedih gundah galau merana
sampai mabuk-mabukan. Karena ilmu atau ngilmu yang dalam bahasa Arab bila
dibongkar terdapat tiga huruf dan makna. Pertama, Ngaliyin yang berarti tinggi,
kedua, Lutfa yang berarti lembut atau halus, ketiga, Mulku yang berarti raja.
Yang keseluruhanya berarti pendidikan atau ilmu itu tidak terbatas.
Misal, dosen anda cuma masuk saja dan tidak
memberi atau membagi ilmunya secara penuh kepada anda, ya sebagai mahasiswa
anda harus menemukan atau menggali ilmu dari dosen anda, gunakan hak anarko
anda dalam mendapatkan ilmu.
Karena kita itu manusia, ingat MANUSIA,
bukan burung Beo, bukan yang hanya menirukan materi yang disampaikan dosen saja.
Kita harus naik diatas pola pikir konvensional, untuk menyusun pernyataan-pernyataan
dari dosen agar supaya terbuka dalam paradigma baru. Kita harus mengandalkan imajinasi
kita sebanyak mungkin pada logika, dan mengintegrasikan berbabagi macam ide,
untuk menyambut realitas-realitas, dan jika nantinya gagal kita sudah terlatih
dan bertoleran terhadap kegagalan. Jadi, fleksibilitas kognitif kita harus
sering-sering dilatih supaya tidak terkaget-kaget dan terheran-heran saat
muncul berbagai masalah.
Namun, bagaimana jika sebuah fleksibiltas
kognitif dikaitkan dengan Privilege atau hak istimewa?. Jika kita melihat pada
riset The SMERU Research Institute yang membahas mengapa anak-anak dari
keluarga miskin memiliki pendapatan 87% lebih rendah ketika dewasa daripada
anak-anak yang lahir dari keluarga yang kaya.
Privilege atau hak istimewa adalah sebuah
hal yang tidak bisa kita pilih. Segala kemudahan finansial, kesehatan, keluarga
yang utuh dan keharmonisan asupan ilmu pengetahuan dan wawasan dalam keluarga.
Kemudahan akses pendidikan dan hal-hal istimewa yang jika kita dapatkan semasa
kecil akan berdampak besar ketika kita dewasa. Meski tak bisa kita generalisir
bahwa anak yang lahir dari keluarga kaya lebih baik ketimbang anak dari
keluarga miskin.
Hak istimewa semacam itu adalah sebuah
keuntungan bagi sebagian anak yang tidak dapat ditemui oleh anak lainya. Anak
yang lahir dari keluarga kaya mungkin saja bisa memilih untuk kuliah dimana
atau bahkan bisa sampai bingung, sedangkan anak yang tidak mempunyai hak
semacam itu, hanya akan bingung untuk melanjutkan kuliah atau tidak,
dikarenakan faktor finansial.
"Gantunglah cita-citamu setinggi langit, dan bermimpilah setinggi langit. Maka,
jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang.”.
Dari kutipan Bung Karno diatas, saya pribadi menilai sangat tidak efefktif. Jika kita melihat seorang anak yang terlahir dari
keluaga miskin, bagaimana jika seorang anak miskin mempunyai cita-cita dan
harapan yang sedemikian besar, bukankah malah akan membebani orangtua?. Seorang
anak yang bercita-cita menjadi menjadi Hakim, namun orang tuanya tidak punya
biaya untuk kuliah difakultas Hukum, belum lagi untuk menjadi PNS. Kan ada
Beasiswa? untuk mengejar beasiswa harus pintar dulu, punya nilai bagus, dan
untuk mendapatkan hal itu perlu Pendidikan yang bagus, dan itu perlu biaya yang
tidak sedikit. Lain hal jika mempunyai Privilege, mereka akan tumbuh dan
berkembang tanpa repot-repot stress dan memikirkan besok mau makan apa, dan hal
yang demikian akan mendorong anak berkembang sesuai passion mereka.
0 Response to "Fleksibilitas Kognitif dalam Belenggu Dunia Pendidikan "
Posting Komentar