Berbagai wacana
manis kini ubah menjadi cerita ironis, tanpa diminta; jauh dari praduga seisi
dunia dikejutkan wabah corona yang entah memang bencana atau konspirasi semata.
Visi misi para pengisi takhta pimpinan organisasi sedari pimpinan pemerintahan
hingga visi misi pimpinan organisasi kemahasiswaan akankah setabuh janji para
politikus yang kerap diberi satire “janji hanyalah barang dagang semasa
pemilihan?”.
Tidak lain tidak
asing kritik yang menghujani organisasi mahasiswa dengan sebutan budak program kerja
atau event organizer (EO) kini diamini semesta. Pelbagai wacana kegiatan
yang serba dirancang “wah” dengan keadaan keuangan kampus yang semakin seret
parah kini telah dipertumpul keadaan. Seperempat periode kiranya ormawa KM
UNTIDAR dipaksa untuk berjalan lepas dari wacana awal. Kuliah daring (online)
di tengah pandemik covid-19 jelas memicu pulangnya kebanyakan mahasiswa ke
masing-masing asal tanpa terkecuali internal fungsionaris pengurus Ormawa KM
UNTIDAR baik ormawa pemerintahan maupun non pemerintahan. Dengan tiadanya objek
dan subjek simbiosis organisasi antar penyejahtera dengan yang disejahterakan,
jelas kini Kampus Tuguran menjadi sekadar bangunan mungil yang merindukan hiruk
pikuknya.
Seluruh pemimpin
dipaksa kenyataan untuk bersikap dingin kemudian menyembunyikan kegelisahan
demi menenangkan seluruh yang ia pimpin di masing-masing organisasi agar tetap
konsisten menjaga api pada segala dedikasi di tiap organisasi. Ada yang
benar-benar segera menginovasi gerakan, ada yang masih merancang, bahkan ada
juga yang entah karena apa hingga kini masih belum melakukan apa-apa (eh).
Semesta mendukungku untuk angkat topi kepada rekan-rekan penggerak organisasi
yang berhasil memberangkatkan diri untuk melakukan segala bentuk aksi sosial di
tengah maraknya wabah covid-19 (apapun aksi sosialnya) baik secara gerak
kolektif maupun secara keorganisasian formal.
Tak tertinggal
dengan kampus-kampus lain, beberapa mahasiswa (entah memang banyak atau
sedikit) yang merengek menyambati keadaan saat ini (KULIAH ONLINE). Ada
yang berkeluh melalui story, ada yang secara keorganisasian menyampaikan
aspirasi hingga sampai ke telinga lembaga legislatif mahasiswa, ada juga yang
sekadar berserah pada Yang Maha Kuasa. Berbagai kuisioner tersebar di berbagai
lini, legislatif eksekutif saling menyinergi demi mengkaji, saling mubal bahkan
saling misuh. Tapi segala ringkik pekik itu tak kunjung lekas mendapat
kejelasan jawabnya, entah apa sebabnya biar masing-masing kita yang saling
menduga.
Polemik Subsidi Kuota dan Logistik
BEM KM sebagai
lembaga eksekutif tingkat universitas yang memang idealnya berperan sebagai
jembatan antara mahasiswa dengan birokrasi kampus telah mengupayakan audiensi
yang menuntut beberapa poin yang di dalamnya termasuk tuntutan mengenai subsidi
kuota atau pulsa dan distribusi logistik untuk mahasiswa luar Magelang yang
masih berada di kos. Tuntutan ini akhirnya diamini pejabat kampus. Sesegera
mungkin BEM KM menyebarluaskan pamflet hasil audiensi. Tak butuh waktu lama,
hasil audiensi ditanggapi dengan pandangan multiragam. Subsidi kuota yang akan
dialokasikan bagi mahasiswa bidikmisi dan golongan UKT rendah memicu berbagai
respon yang cukup anget di garis horizontal mahasiswa.
Ada yang bersorak
ria berkata “hore”, ada yang dengki dengan celetuk “Mahasiswa bidikmisi ki
padahal beli HP baru dan skincare pake duit negara aja mampu, masa kuliah
online dikasih sumbangan kuota barang?” Ada juga yang mengingatkan “Lah
kuliah we online, jatah biaya hidupe mahasiswa bidikmisi pasti utuh lah njuk
ngopo kudu dikei subsidi meneh?” bahkan ada juga yang menyentil bahwasanya
mahasiswa bidikmisi dan golongan rendah tidak sepenuhnya benar-benar jauh lebih
membutuhkan subsidi daripada mahasiswa ber-UKT tinggi yang mungkin profesi
orang tuanya saat ini tengah kesusahan akibat dampak covid-19.
Belum lagi masalah
logistik yang akan didistribusikan ke mahasiswa yang masih tertahan di kos.
Meminjam ungkapan “cogito ergo sum” milik Descartes, sang filsuf ternama
dari Prancis yang artinya “aku berpikir maka aku ada” maka melalui tulisan ini
aku mencoba untuk mendialektisir pemikiran KM UNTIDAR. Dengan tuntutan semacam
ini mari kita kembali ke masing-masing nurani apakah kita berhak menerima atau
sekadar meminta itu semua? Benarkah orang tua kita tidak menangis melihat
pemikiran anak-anaknya yang terlalu banyak meminta tapi bahkan lupa memberi?
Apalagi dalam keadaan yang semiris saat ini.
Mengapa bakal alokasi dana wacana subsidi-subsidi
ini tidak kemudian dijadikan donasi bersama saja? Maksudku, dari pada wacana
subsidi-subsidi ini hanya menimbulkan gesekan antar mahasiswa dan bahkan
jelas-jelas tidak akan memberi dampak seberapa bagi mahasiswa, mengapa kita
tidak menanamkan pikir yang lebih dedikatif seperti misalnya alokasi bantuan
ini mending disalurkan untuk kebutuhan bantuan tim medis sebagai pahlawan
kemanusiaan yang berada di garda terdepan saat ini? Betapa tidak? Kita berbicara
kenyataan saja, kampus Tuguran ini saat ini masih sebagai Perguruan Tinggi
Negeri yang berstatus Satuan Kerja (PTN-Satker), otomatis pengelolaan keuangan
kampus kita tak semerdeka manajemen keuangan dan administrasi Perguruan Tinggi
Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Untuk lebih rincinya kawan-kawan bisa browsing
mempelajari perbedaan pengelolaan PTN berstatus satker dan berbadan hukum.
Belum lagi saat ini kampus tengah gencar melakukan pembangunan-pembangunan.
Jelas uang yang akan dialokasikan untuk subsidi kuota atau bahkan logistik
tidak akan dirasa “banyak” jika dibanding dengan populasi mahasiswa yang ada.
Mengapa tidak lantas kita menuntut pemotongan UKT semester depan saja? Ya meski
mungkin potongan UKT nantinya hanya sepersekian persen, tetapi hal ini akan
dirasa cukup merata dari pada harus saling memperdebatkan alokasi subsidi yang
rumornya sepenuhnya diserahkan oleh rektorat untuk kemudian dikelola secara
teknis oleh Ormawa KM UNTIDAR di bawah koordinasi BEM KM, toh mahasiswa
mengunggah tik-tok, ngestalk IG dekne sek kadung bahagia mbek wong
lio we iseh mampu masa kuliah daring langsung merengek sumbangan kuota?
Betewe bukan maksud sok kaya, aku juga mahasiswa bidikmisi tetapi kenyataannya
memang selalu ada orang yang jauh lebih membutuhkan dari hal yang semata-mata
sekadar keinginan kita semata.
Melirik wacana
distribusi logistik untuk mahasiswa yang tertahan di kos, mari kita tilik
sebentar. Jika mereka yang tertahan atau menahan diri di kos entah memang
karena peduli dengan keluarga (mencegah kemungkinan penyebaran virus) atau
sekadar males mudik, benarkah bantuan itu nantinya akan jauh lebih adil
dibanding penderitaan teman-teman yang mungkin anak rumahan asli Magelang
tetapi sebenarnya jauh lebih membutuhkan karena orang tuanya di PHK akibat dampak
krisis ekonomi di tengah pandemik?
Aku mengamini
beberapa cuitan di media sosial belakangan yang kurang lebih menilai mental
mahasiswa yang tadinya hanyalah EO, pengkritik pemerintah, kini lupa pada tri
dharma perguran tinggi yang di dalamnya juga memuat aspek “PENGABDIAN”.
Nyatanya mental aktivis-aktivis yang identik dengan gerakan kekiri-kirian
(sosialis) kini tengah bertekuk lutut pada status kaum intelek bermental
pengemis. Perjuangan demi menyejahterakan? Sekali lagi mari kita bertanya pada
nurani, benarkah kita berhak dan sungguh jauh lebih membutuhkan itu semua saat
ini? Segala teknis kuliah daring (online) yang dirasa memakan banyak biaya coba
kalkulasikan ulang dan bandingkan dengan kuliah offline yang sebenarnya jauh
lebih boros, seperti misal dengan uang yang harus keluar dari kantong untuk
membayar jasa percetakan ditambah modal BBM bolak-balik kampus, tambah biaya
makan di Prekju, Warjok, Bu Tarjo, Angkringan Pak Agus, Pak Wawan, Mas Brow,
dll.
Sebagai penutup,
terima kasih untuk yang selalu terus dan tetap bergerak untuk hal baik. Pun
terima kasih untuk seluruh senior, rekan, adik dan siapapun yang selalu
mengajarkan ejaan konsep kemanusiaan selama aku mengenyam pendidikan di Kampus
Tuguran. Lekas membaik, semesta, semoga kita semua lekas kembali bersua. Jangan
lupa sambat kuliah tugas online 3 kali sehari agar tetap sehat. Hehe.
Panjang umur perjuangan!
Tumbuh subur gerakan kemanusiaan!
Saya merasa terwakili, tapi untuk pemotongan dana ukt mnrt saya tidak rasional sebab :
BalasHapus1. Dijelaskan barusan bahwa UNTIDAR berstatus satker bahkan status satker pun di bagi menjadi dua lagi. Namun pada intinya ini tergantung dari kebijakan KEMENKEU dan juga KEMENDIKBUD(CMIIW) yang memang bisa memberi potongan ukt atas pandemi ini. Namun ini pun perlu di pikirkan kembali, jika diadakan kebijakan pemotongan pembayaran ukt akan ada juga pekerja kampus yang ikt terpotong gajinya pdhl gaji awalnya mungkin tidak setimpal dengan apa yang dikerjakannya tpi krn memang terpaksa untuk makan akhirnya di lakukan juga. Jika saya berkenan memberi ide dan harap saja diamini oleh birokrasi yang di atas diadakan kebijakan kemudahan untuk pembayaran ukt melalui metode angsuran atau penundaan pembayaran ukt selama pemulihan ekonomi.