“... Nah andaikata hanya tangan kiri Muhammad yang
memegang kitab, yaitu Al-Hadits, sedang dalam tangan kanannya tidak ada wahyu
Allah (Al-Qur’an), maka dengan tegas aku akan berkata bahwa Karl Marx dan
Frederick Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang ini luar
biasa dan pengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiap orang
bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni sorga tingkat pertama, berkumpul
dengan para nabi dan syuhada.” (Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam hal. 98).
Kata tersebut mesti akan menuai sebuah reaksi yang pro
dan kontra, tergantung terhadap setiap manusia dengan beraneka macam
identitasnya. Ada sebagian orang yang akan merasakan bahwa kata tersebut
layaknya menusukkan sebilah pisau langsung kedalam hati tanpa meninggalkan
bekas lubang didalam dada. Ada pun yang akan merasakan kegembiraan dan
membenarkan perkataan tersebut. Bahkan menjadikan tulisan Ahmad Wahib tersebut
sebagai sarana pendukung yang kuat dalam melancarkan serangannya. Apalagi
ditambah dengan identitas Ahmad Wahib sebagai seorang muslim yang cukup banyak
bergulat dalam aktivitas-aktivitas keislaman. Karena Ahmad Wahib dulunya pernah
di pesantren dan juga pernah berada di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang
cukup giat dalam aktivitas pembelajaran keagamaan. Walaupun akhirnya ia keluar
dari HMI dikarenakan merasa pikiran bebasnya akan tertahan jika tetap berada di
dalamnya dan demi kebaikan HMI itu sendiri.
Perlu dimaklumi jika ucapan itu bisa terlontarkan oleh
seseorang yang pada hidupnya masih banyak kegelisahannya terhadap apa yang ada
di dalam Islam. Jiwa-jiwa rasionalnya mencoba meronta-ronta terhadap apa yang
telah ditetapkan dengan ketidaksesuaian pada apa yang ia pandang dan alami
selama ini. Secara tidak langsung pun, walau tidak dinyatakan oleh Ahmad Wahib
secara langsung. Ia berupaya untuk memahami isi dari ajaran agama Islam dengan
menggunakan pendekatan hermeneutika. Dimana sejarah nabi dijadikan acuan yang
cukup penting bagi Ahmad Wahib, bahkan sebagai sumber pemahaman agama Islam. Namun,
tak ada yang tahu bagaimana manusia akan berujung pada akhirnya. Maka bisa juga
jika dikatakan, bahwa pergulatan pemikiran yang dialami Ahmad Wahib tersebut
belum selesai, hingga pada akhirnya ia meninggal dalam keadaan masih membaca
banyak kegelisahan dan pertanyaan yang sangat fundamental tentang Islam itu
sendiri.
Cukup mengerti kenapa Ahmad Wahib berupaya mengatakan
hal demikian. Karena Nabi Muhammad SAW adalah orang yang dipilih oleh Allah SWT
sebagai wakil-Nya untuk menyampaikan risalah kepada seluruh umat manusia.
Sehingga Nabi Muhammad diberikan pembukaan tabir terhadap kebenaran dan apa
yang semestinya dilakukan terhadap dunia. Sedangkan, Karl Marx dengan rekan
seperjuangannya yaitu Frederick Engels. Adalah orang yang memiliki pengaruh
besar dalam membuka kedok kerusakan dunia yang disebabkan oleh sistem
kapitalisme. Mereka besar tanpa mendapatkan wahyu dari Tuhan untuk bergerak
dalam pencarian terhadap kebenaran.
Namun, selayaknya seorang yang rabun memerlukan sebuah
kacamata agar dapat melihat lebih jelas dan jernih. Kita juga mesti menggunakan
kacamata dan perspektif yang komprehensif dalam menelisik hal tersebut.
Benarkah Nabi Muhammad SAW memiliki pengaruh kuat karena posisinya sebagai
pengemban Wahyu Ilahi. Atau di dalam diri seorang Muhammad SAW memang ada sisi
penggerak perubahan. Bahkan lebih jauh lagi, mungkinkah amanat itu hanya dapat
diberikan kepada dirinya seorang tanpa ada kata orang lainnya.
Lihatlah ulama-ulama Islam mau menerapkan hukum-hukum
tertentu pada manusia. Tapi sayang, bahwa di sini yang mereka perkembangkan
hanyalah bunyi hukum itu dan sangat kurang sekali usaga untuk mengerti dan
membahas masalah manusianya sebagai obyek hukum itu. Dengan cara-cara ini,
adakah kemungkinan untuk menjadikan hukum itu sendiri sebagai suatu kesadaran
batian dalam hati manusia? Yang terjadi malah sebaliknya, bahwa makin lama
orang-orang makin jauh dari hukum-hukum yang mereka rumuskan. Sampai dimanakah
ulama-ulama kita – walaupun tidak ahli – cukup memiliki apresiasi terhadap
antropologi, sosiologi, kebudayaan, ilmu dan politik dan lain-lainnya?
Bagi saya ulama-ulama seperti Hasbi, Mochtar Jahja,
Munawar Cholil dan lain-lain tidak berhak untuk menetapkan hukum dalam masalah
akhlaq dan khilafah. Bagaimana mreka akan berhasil tepat, bilamana masalah
manusia, masyarakat dan lain-lain tidak dikuasainya? Tidak ada kerja kreatif
yang mereka lakukan. Mereka baru dalam taraf interpretatif.
Maksud dari pernyataan dari Ahmad Wahib tersebut,
kurang lebih mengenai pemahaman dari pemuka agama dalam memahami setiap
manusia. Artinya, manusia dipahami pada setiap individunya, maka dari itu ia
juga menyayangkan karena pengabaian terhadap keilmuan antropologi, sosiologi,
kebudayaan, ilmu dan politik. Dimana keilmuan tersebut pada saat ini, adalah
sarana-sarana agar seseorang dapat memahami manusia lainnya dengan lebih benar.
Hingga pernyataannya yang terkesan berani, bahwa Nabi Muhammad SAW tidaklah
lebih baik dari Karl Marx dan Frederick Engels jika hanya sebuah hadits yang ia
miliki tanpa adanya Al-Qur’an yang merupakan kitab yang benar-benar berasal
dari wahyu Allah SWT.
Maka ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan dalam
berupaya melakukan komparasi terhadap Nabi Muhammad SAW dan Karl Marx:
Historical Setting
Pernyataan tersebut sangat tidak adil jika menimbang
dengan latar dan waktu yang berbeda antara Karl Marx dan Muhammad SAW. Dimana
keilmuan tersebut belum berkembang pada bentuknya yang sudah bulat dalam sebuah
cabang keilmuan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dipertambahkan dengan beliau SAW
adalah buta huruf (tidak bisa membaca dan menulis). Sangat berbeda dengan zaman
Karl Marx yang dimana keilmuan sudah banyak menelurkan bentuknya, bahkan untuk
menggapai dan mengakses ilmu pengetahuan sangatlah mudah karena kertas dan
percetakan sudah muncul pada saat itu.
Dengan jasa dari Ts’ai Lun (+105 M) dari China
yang menemukan kertas, telah membuat peradaban China pada saat itu dapat
mengejar ketertinggalannya dengan Barat. Lalu bangsa Arab pun mempelajarinya
dari tawanan pembuat kertas China pada tahun 751. Seni pembuatan kertas dengan
perlahan dipelajari di seluruh dunia Arab dan pada abad ke-12, orang-orang
Eropa mempelajari seni ini dari orang-orang Arab. Lalu setelah itu di Eropa,
pada abad ke-15, seorang jenius bernama Johann Guttenberg mengembangkan sebuah
teknik untuk memproduksi buku secara massal. Pada saat inilah, dengan kombinasi
kertas dari Ts’ai Lun dan percetakan dari Guttenberg, peradaban ilmu
pengetahuan dan kebudayaan berkembang secara cepat. Karena akses terhadap
keilmuan sudah sangat mudah untuk diperoleh. Dan Marx, telah hidup di dunia
semacam itu, sementara Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya masih sangat
kesulitan dalam mengakses ilmu pengetahuan.
Influence
Kita juga mesti memahami bahwa pengaruh dari kedua
tokoh besar tersebut cukup berbeda. Nabi Muhammad SAW tidak hanya memberikan
pengaruh terhadap manusia dalam bentuk doktrin maupun keilmuan. Lebih dari itu,
ia adalah seseorang yang paling ditiru setiap perilakunya. Karena memang akhlak
dari beliau SAW sangat baik. Dan itu pula yang menjadi salah satu alasan
keberadaan dirinya pada masa itu dan tetap mempengaruhi hingga kini. Karena
beliau SAW pernah mengucapkan bahwa, “Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Bukhari).
Bahwa ada banyak sisi yang dimiliki Nabi Muhammad yang
sebenarnya menjadikannya sukses dalam menyebarkan seruannya. Dan kecerdasannya
dalam menentukan sikap, dengan atau tanpa bimbingan Allah SWT. Bukankah dalam
sebuah hadits dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang paling
banyak melaksanakan musyawarah (HR. Tirmidzi). Dan bagaimana pun juga, jika
kita masuk ke dalam bab fiqih dakwah. Ada dua landasan besar sebuah dakwah dapat
disampaikan. Yaitu dengan lisan dan yang kedua dengan teladan. Disini kita akan
menemukan bahwa sosok Nabi Muhammad SAW sangat sukses karena ia memiliki
teladan (akhlaq) yang tak bisa disamai oleh setiap manusia di dunia. Inilah
juga yang melandasi penulis untuk berpendapat bahwa amanat menjadi seorang
penyebar risalah yang terakhir hanya terdapat pada dirinya seorang.
Cobalah bagaimana jika kita juga patut berpikir,
bagaimana jadinya jika Nabi Muhammad SAW sejak awal dapat membaca dan menulis
dan hidup dizaman modern semacam Marx. Atau kita balikkan juga, bagaimana
jadinya jika Marx hidup di gurun pasir, buta huruf dan di zaman yang belum
banyak akses ilmu pengetahuan di dalamnya.
Maka lebih baik kita berucap bahwa setiap orang
memiliki sisi yang lebih baik dibanding orang lainnya. Bahkan dalam bidang
keilmuan, jika ada seseorang yang memiliki ilmu yang lebih luas dibanding diri
kita sendiri. Minimal kita masih bisa meyakini, setidaknya ada satu atau dua
hal di dalam diri kita yang lebih memahami dibanding diri seseorang lainnya.
Mari kita bicara lagi lebih dalam terhadap kedua tokoh
yang sangat berpengaruh dalam menciptakan peradaban yang ada pada saat ini.
Keteladan
Nabi Muhammad SAW adalah sosok seseorang yang paling
diikuti setiap saat langkah hidupnya dari bangun tidur hingga kembali tidur di
malam hari. Jika pengikutnya merasa tidak sanggup menjalankan kebiasaan
sehari-hari Muhammad SAW. Minimal tidak mengingkari dan menganggap baik setiap
sisi hidup Nabi Muhammad SAW dalam tutur kata dan gerak tubuhnya.
Namun, pada nyatanya bahkan Karl Marx sekalipun tidak
menempati posisi ini bagi para pembelajar yang mendukungnya. Kepribadian Karl
Marx apakah benar-benar langsung merasuk kedalam setiap gerak tubuh
pengikutnya. Apakah pengikutnya akan mengikuti kebiasaan Karl Marx yang jarang
mandi dan rumah yang tidak terawat. Masih banyak kepribadian dan kehidupan
sehari-hari dari Karl Marx sendiri yang tidak bisa diikuti oleh pengikutnya.
Bahkan untuk membiayai hidupnya dan keluarga, ia dibantu oleh sahabatnya yaitu
Frederick Engels. Padahal uang tersebut sebenarnya ia dapat dari ideologi yang
ia tentang yaitu kapitalisme. Bapak dari Frederick Engels adalah pengusaha
pabrik tekstil.
Materialisme
Historis
Kebanyakan filsuf-filsuf sebelum Marx memandang dan
memahami dunia secara spekulatif. Sehingga cenderung pemikiran mereka tidak
digunakan untuk secara langsung memberikan perubahan manusia dalam bersikap dan
menentukan gerak materi dunia. Marx lah, seseorang yang berupaya membalikkan
pemahaman tersebut, dengan menambahkan kata historis di belakang kata
materialisme. Filsafat materialisme Marx, tidak hanya sekedar menyatakan
materialisme sebagai realitas (apa yang dapat dipandang, dirasa, diraba,
dihirup dan didengar).
Namun lebih dari itu, ia juga menjelaskan bahwa ada
intervensi subyek (manusia) dalam menggerakan dunia materi. Kebakaran yang
terjadi di hutan Sumatera dan Kalimantan, banjir Jakarta, dan banyaknya
fenomena alam. Tidak selalu terjadi secara natural, melainkan adanya intervensi
manusia dalam melahirkan berbagai kebaikan dan keburukan untuk dunia. Maka dari
itu, Marx menolak sikap memandang realitas secara natural dan mengakui adanya
intervensi subyektif yang justru melakukan konstruksi dan destruksi terhadap
alam.
Hal itu sejalan dengan pemahaman tentang khalifah di
dalam Islam. Bahwasanya manusia diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah (QS.
Al-Baqarah: 30). Makna dari khalifah itu sendiri sangat banyak seperti pemimpin,
pemakmur, perwakilan, penerus dan lain-lain. Namun, semua itu mencakupi dalam
kerja manusia untuk memakmurkan bumi. Karena manusialah makhluk yang diberikan
akal – hewan yang berakal (kata Aristoteles). Maka dengan akal itulah, manusia
menjadi makhluk yang bisa menumbuhkembangkan dunia materi. Sehingga potensi
alam bisa dikembangkan menjadi suatu produksi yang mempermudah kerja manusia. Walaupun
selalu ada yang dikorbankan atas keganasan dan kerakusan manusia dalam
mengelola dunia materi.
Materialisme historis yang dibawa Marx bermaksud untuk
menjelaskan kaitannya tentang aspek kebendaan (materi) sebagai jalan yang
mempengaruhi proses sejarah. Dimana sejarah lahir dari proses dialektika (tesis
dan antitesis yang melahirkan sintesis) dengan adanya kepemilikan pribadi.
Sehingga kemudian hal tersebut menimbulkan pertarungan dalam memperebutkan
materi. Dari materi tersebut lahirlah ekonomi, yang menjadi titik tumpu manusia
dalam berkehidupan. Dan dari perbedaan memandang dan memanfaatkan perekonomian
inilah, Marx membedakan masyarakat antara pemilik modal dengan pekerja.
Pertarungan dan perebutan memang sejak dahulu kala
sudah muncul. Bahkan semenjak konflik anak dari manusia pertama yang turun ke
bumi (Adam dan Hawa). Pembunuhan tersebut terjadi karena menginginkan seorang
pasangan yang memiliki wajah yang lebih cantik (terlihat kemiripan dengan
konsep kepemilikan pribadi). Pada zaman Nabi Muhammad SAW sendiri, perebutan
tersebut terjadi dikalangan masyarakat Mekkah. Ada kalangan bani Ka’b, bani
Adi, bani Taim, bani hasyim dan lain sebagainya yang diantara setiap kalangan tersebut
ada kelas sosial yang disusun. Dan kelas terendah dipegang oleh para budak,
jangankan untuk mendapatkan hak kepemilikan pribadi. Jiwa dan tubuhnya sendiri sudah
dirampas dan diperjualbelikan, sehingga hak kepemilikan dirinya dimiliki kepada
sang pembeli.
Kelas Sosial
Baik Nabi Muhammad SAW maupun Karl Marx memiliki
sebuah perjuangan yang mirip dalam upaya menghilangkan kelas sosial yang berada
pada zamannya masing-masing. Jika pada zaman Nabi Muhammad SAW, perjuangan
tersebut dapat dilihat dalam bentuk merubah pandangan masyarakat terhadap
sesamanya. Yaitu dengan menyamaratakan setiap manusia dan menuju kepada
pengabdian kepada Allah SWT. Karena
setiap manusia, semestinya dinilai sama karena memiliki identitas yang sama
sebagai hamba Allah SWT. Namun, disinilah perbedaan yang sangat ontologis dan
kosmologis antara ajaran Nabi Muhammad SAW dengan Karl Marx. Marx adalah
penganut paham materialisme, yaitu paham yang memandang dunia hanya dalam
bentuknya yang materi. Dan menyangkal akan adanya hal-hal yang metafisika (ghaib).
Sehingga ia dalam memahami
antropologi, sosiologi, etika dan filsafat kehidupannya menggunakan basis
materialisme. Sedangkan Nabi Muhammad SAW membawa sebuah hal yang tentunya
sangat berkaitan erat dengan hal-hal yang berupa metafisika. Bahkan rukun Islam
dan rukun Iman adalah sesuatu yang sangat koheren dengan hubungan manusia
dengan Maha Pencipta. Padahal penyamarataan antara setiap manusia, didasarkan
pada kedua rukun ini. Jika manusia benar-benar melaksanakannya dengan
penghayatan yang mendalam, semestinya ia memahami. Bahwa puasa tidak sekedar
sebuah ibadah kepada Allah SWT, akan tetapi dapat melahirkan sikap peduli
kepada sesama manusia. Dan merasakan dengan seksama, kelaparan yang selama ini
cukup menjadi rutinitas masyarakat miskin. Seharusnya akan muncul empati kepada
masyarakat miskin yang kesulitan dalam mencari sesuap dua suap nasi. Maka dari
itu, ajaran Islam tidak hanya berupaya untuk menciptakan hubungan yang baik
terhadap Allah SWT (hablumminallah).
Akan tetapi, semua itu juga harus melandasi dirinya untuk menciptakan hubungan
yang baik terhadap sesama manusia (hablumminannas).
“Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama. Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.
Orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Q.S. al-Ma’un: 1-7).
Pada saat inilah bagaimana Nabi Muhammad SAW dengan
ajaran yang diturunkan kepadanya, dapat mengubah bahkan menghapuskan perbudakan
yang ada. Pendekatan yang dilakukan tidak langsung memburukkan atau menjelekkan
perilaku perbudakan. Akan tetapi, dengan memberikan keutamaan terhadap mereka
yang membebaskan seorang budak.
“Barangsiapa
yang memerdekakan budak, maka Allah akan membebaskan setiap anggota badannya
dari api neraka dengan setiap anggota badan budak yang dimerdekakan, hingga
kemaluannya dengan kemaluan (budak yang dimerdekakan.” (HR. Muslim).
Sedangkan perjuangan Karl Marx yang pada saat itu
dengan melakukan pembagian kelas yaitu borjuis dan proletar. Tentang mereka
yang memiliki alat produksi dan mereka yang memproduksi dalam bentuk energinya.
Akan tetapi dalam persoalan ekonomi, tidak ada perbedaan yang cukup berarti
diantara perjuangan Nabi Muhammad SAW dengan Karl Marx. Karena pasalnya, pada
periode awal Mekkah pada saat itu kalangan pembesarnya adalah para pemilik
modal. Di saat Nabi Muhammad SAW mengajak masyarakat Mekkah masuk ke dalam
Islam. Bukan karena mereka tidak mempercayai apa yang dibawa oleh beliau SAW
atau pun karena khawatir akan merusak ajaran nenek moyang mereka.
Akan tetapi
karena di dalam ajaran Islam, mengandung penyetaraan umat manusia. Tak ada lagi
yang akan lebih tinggi kelas sosial diantara masyarakatnya, jika mereka
menerima Islam sebagai agama. Sebab Nabi Muhammad SAW sangat terkenal akan
kejujurannya, hingga masyarakat Mekkah pun saat akan menitipkan
barang-barangnya. Mereka menitipkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Maka pada saat
Nabi Muhammad SAW menyerukan masuk ke dalam agama Islam. Ketakutan mereka akan
terciptanya masyarakat yang setara, dapat mempersulit mereka dalam
mengeksploitasi keuntungan kepada masyarakat yang berada di tingkat di bawahnya
dan menimbun harta yang mereka miliki. Hal itu sesuai dengan yang disabdakan
oleh Nabi Muhammad SAW bahwa, “Tidaklah
seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim).
Pada tahap terakhir dari tujuan dari semua itu dalam
pemikiran Karl Marx yaitu terciptanya diktator proletariat. Kapitalisme yang
melahirkan diktator borjuis, dibalikkan dengan diktator proletariat bagi Marx.
Kalimat bercorak kapitalisme seperti “untuk masing-masing sesuai dengan kerjanya”,
diganti dengan corak sosialisme semacam “untuk masing-masing sesuai dengan
kebutuhannya”. Memang yang dimaksud dengan diktator proletariat tersebut adalah
peralihan dari penguasaan kaum borjuis kepada kaum proletar, demi terciptanya
masyarakat tanpa kelas. Akan tetapi, diktator proletar menemukan prakteknya
dalam bentuk yang juga menindas dan meneror kelompok lainnya.
Jika landasan dasar Karl Marx adalah
kebebasan, persamaan serta humanisme. Setuju atau tidak setuju, diktator
proletariat benar-benar lahir ketika komunisme mengambil alih kekuasaan hingga
puncaknya mencapai sepertiga populasi dunia. Dengan peraturan dan pemberlakuan
yang ketat, bukannya menjadikan masyarakat bebas dan kebebasan berkarya,
melainkan suatu masyarakat yang sama sekali direncanakan dari atas ke bawah,
yang masing-masing individunya diberi suatu peranan. Dan terkesan menggunakan
gaya machiavelian dalam memberikan ketertiban terhadap negara.
Ekonomi
Salah satu gagasan penting yang ditelurkan oleh Karl
Marx yaitu tentang basis struktur dan superstruktur. Dimana basis (dasar)
struktur kehidupan ini adalah ekonomi. Dan selain itu, seperti agama, politik,
sosial, dan lain sebagainya merupakan hal yang disebut sebagai superstruktur.
Untuk memudahkan dalam memahaminya, yaitu kita ambil contoh basis struktur dari
sebuah konstruksi bangunan yaitu pondasi. Dimana dengan pondasi yang kuat
tersebut, maka bangunan diatasnya akan tidak mudah goyah dan kuat. Dan bangunan
akan memperturutkan sesuai dengan kemampuan dari pondasinya.
Agama dan kepercayaan
pun juga, sebenarnya tetap terikat terhadap basis struktur tersebut. Contohnya
seperti ini, ada seorang nelayan yang mencari ikan di lautan. Namun, karena ia
takut akan terombang ambing dengan lautan yang sangat besar. Akhirnya sang
nelayan memberikan sesajen kepada lautan. Bukankah seperti itu juga yang masih
ada di Indonesia, semacam sesajen ketika mendirikan bangunan. Seperti dalam
pembangunan NYIA contohnya. Bahkan tidak bisa dipungkiri perilaku keberagamaan
juga ditentukan atas dasar perekonomiannya. Seseorang yang memiliki
perekonomian yang baik, akan dapat menjalankan zakat, sedekah, haji, berdonasi,
dan lain sebagainya.
Akan tetapi ada perbedaan antara sistem perekonomian
yang diajukan oleh Karl Marx dengan Nabi Muhammad SAW. Karl Marx selalu
memberikan dikotomi antara mereka yang memiliki modal dan alat produksi
(kapitalisme) dengan mereka yang tidak memiliki alat modal serta cenderung
bekerja di bawah pemilik modal (buruh). Dan menyerahkan pengaturan keuangan dan
usaha yang ada kepada pengelolaan negara yang telah mencapai diktator
proletariat. Sedangkan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW, membolehkan
individu untuk memiliki usahanya sendiri. Tetapi pengaturannya, lebih menjurus
kepada pengelolaan terhadap orang-orang yang memiliki perekonomian yang lebih
untuk disalurkan kepada mereka yang tidak memiliki. Sistem pengelolaan tersebut
yang disebut dengan zakat. Jadi, bukan hanya negara yang memberikan jaminan terhadap
kesejahteraan masyarakat. Elemen masyarakat juga turut andil dalam
meminimalisir perbedaan perekonomian setiap masyarakatnya.
Jadi jangan heran jika masih banyak kalangan ulama
yang mengharamkan perpajakan dan asuransi. Karena perpajakan dan asuransi,
memiliki pengaturan yang dimana belum tentu setiap individunya memiliki cukup
kemampuan untuk membayarnya setiap waktu. Apalagi dengan bentuk asuransi yang
dimana seseorang membayar setiap bulannya, untuk jaminan kesehatan dimasa
sakitnya. Namun, apakah sudah pasti setiap manusia akan menggunakan jaminan
tersebut. Jika hampir setiap orang membayar dengan berkala biaya asuransi
tersebut, akan tetapi hanya sedikit orang yang benar-benar menggunakan.
Bukankah itu memberikan keuntungan yang sangat luar biasa kepada penyedia jasa
asuransi kesehatan?
Namun, disini saya tidak ingin masuk ke dalam hukum
halal atau haramnya atau presentase masyarakat dan jasa asuransi dalam
mengalami untung dan ruginya. Hanya sekedar sedikit memaparkan sistem-sistem
yang ada. Walau secara jelas, saya tidak begitu mengetahui bagaimana peredaran
uang itu dan apakah keuntungan bagi penyedia jasa asuransi kesehatan
benar-benar sangat besar atau tidaknya.
Agama
Bagi Marx, “agama adalah candu masyarakat”. Marx
memang tidak mempercayai agama. Namun, kritik Marx terhadap keberagamaan tidak
mencapai level eksistensinya. Melainkan esensi agama dalam perilaku manusia.
Artinya, agama seringkali menjadikan seseorang menjadi tidak sadar terhadap
realita yang terjadi. Apalagi juga memang banyak doktrin keagamaan yang dimana
memuliakan mereka yang bersikap puritan. Sehingga candu tersebut, sering
menjadi keuntungan bagi penguasa dan pemilik modal untuk membuat masyarakat
tidak merasa ada yang salah di dalam hidupnya. Begitu juga yang mendasarkan Nietzche
mengatakan “Tuhan sudah mati”, karena agama dianggapnya malah melahirkan
mentalitas budak bagi para pemeluknya.
Contohnya, seperti doktrin keagamaan
“hidup di dunia hanyalah ujian dari Allah SWT”. Maka dari itu, ia merasa
tentram karena dirasa dirinya dibuat susah sebagai ujian. Dan seseorang yang
bisa bertahan dengan berbagai ujian bertubi-tubi yang ada, ia akan semakin
mendapatkan kemuliaan di dalam agama. Serta terus berdoa dan meminta
kepada-Nya, akan tetapi tanpa adanya usaha secara pribadi yang cukup berarti.
Perilaku semacam ini, menurut hemat penulis benar dalam satu aspek akan tetapi
keliru pada aspek lainnya. Kita memang harus berlaku sederhana, dalam artian
tidak berlebih-lebihan di dalam segala aspek kehidupan. Makan secukupnya,
mengeluarkan uang sesuai kebutuhannya, meminimalkan berbuat sesuatu yang tidak
ada manfaatnya. Itu adalah satu bentuk yang baik. Namun, yang menjadi
kekeliruan adalah ketika perilaku kesederhanaan menghalangi seseorang untuk
bersikap berkemajuan, baik dalam intelektual maupun perekonomian.
Bukankah menjadi seseorang yang memiliki ekonomi yang
mapan memiliki kelebihan. Kita bisa memberi kepada mereka yang berkekurangan,
berzakat, berhaji dan berdonasi dalam pembangunan masjid atau fasilitas
kemasyarakatan dan sosial. Dan bahkan memiliki kelebihan perekenomian semacam
ini pun juga disebut sebagai “ujian dari Allah SWT”. Apakah dengan kelebihan
yang kita miliki ini, menjadikan kita berhasrat merampas serta bersikap sombong
kepada orang lainnya?
“Tidak akan
bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya
(dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang
ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang
hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang
tubuhnya untuk apa digunakannya” (HR. Al-Tirmidzi).
Disamping itu, agama adalah candu. Walaupun dijelaskan
oleh Marx untuk memberi kritik terhadap perilaku manusia terhadap keberagamaan.
Namun, memang secara tidak sadar itu menjelaskan nilai positif dari beragama.
Sejauh yang dipahami, candu adalah sesuatu yang memberikan ketentraman bagi
mereka yang telah tercandu dengan sesuatu hal. Seseorang yang telah candu
dengan narkotika, ia akan merasa tidak tentram dan tenang jika lama tidak
mengkonsumsi hal tersebut. Begitu juga dengan agama. Seseorang yang telah
merasakan ketentraman dan ketenangan dalam beragama. Maka jika suatu kali tidak
mendapat akses untuk menjalankan ajaran yang ada di dalam agama tersebut. Ia
akan merasa tidak tentram yang akan memberi dampak sulit dalam melakukan
aktivitas kesehariannya. Agama adalah salah satu sumber pengubah psikologis
manusia, merupakan sesuatu yang faktual hingga kini.
Pascakata
Hingga sejak dulu sampai saat ini, ajaran dan
pemikiran tersebut diinternalisasikan kedalam setiap individunya. Namun,
pemahaman setiap individu yang terpengaruh oleh lingkungan sosial tempatnya
berada, akan memahamkan ajaran dan pemikiran tersebut dengan kemampuannya
masing-masing. Maka, tak jarang kita melihat penindasan, pengekangan, dan
pelanggaran seseorang dengan mengatasnamakan agama dan ideologi.
Juga tak
jarang ajaran agama dan ideologi digunakan dengan sesuatu yang melahirkan
penindasan yang baru. Dalam Islam muncul lah “Mu’tazilah”, “Khawarij”,
“Wahabi”, “Sunni”, “Syi’ah” dan lain sebagainya. Serta, dalam ajaran yang
didasarkan atas pemikiran Marx, juga merumuskan “Komunisme”, “Leninisme”, “Maoisme”,
“Neo-marxisme”. Memang begitu seharusnya, karena “sejarah bergerak ke arah yang
semakin rasional” katanya Hegel. Maka, setiap ajaran dan keilmuan yang telah
dibaca dan ditelaah. Akan melahirkan keilmuan baru – yang dirasa oleh setiap
individu lebih mapan dibandingkan yang telah ia masukkan ke dalam pikirannya.
Namun, apakah
dengan semakin rasional. Semesta akan semakin baik atau mungkin sebaliknya?
Daftar Pustaka
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam
Ashgar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan
Ali Syari’ati, Kritik Islam Atas Marxisme dan
Sesat-Pikir Barat Lainnya
Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh
Sepanjang Sejarah
0 Response to "Marx dan Muhammad SAW"
Posting Komentar