![]() |
sumber: kompasiana.com |
Para mahasiswa yang kerap melakukan
aksi damai gelar seni demi solidaritas pembelaan isu tertentu maupun
demonstrasi besar-besaran dalam melawan sesuatu mungkin tidak sedikit yang
menyertakan bunga dalam logistik aksi tetapi tidak mengerti mengapa akhirnya
bunga berperan sebagai bagian dari logistik alias perangkat kelengkapan aksi
setelah kain bentang (spanduk) dan poster-poster satire. Dalam tulisan ini
kiranya musabab bunga menjadi bagian vital dari pergerakan kaum sipil akan
sedikit dipaparkan. Terlebih Widji Thukul sang sastrawan kondang sekaligus
aktivis HAM telah mempuisikannya.
Bunga dan
Tembok
Widji Thukul
Seumpama bunga
kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka
membangun rumah merampas tanah
Seumpama bunga
kami adalah yang tak kau hendaki adanya
Engkau lebih suka
membangun jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
kami adalah yang dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
engkaulah tembok
Tapi di tubuh
tembok itu telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami
akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan:
engkau harus hancur!
Dalam keyakinan
kami
Dimana pun tirani
harus tumbang!
Solo, 87-88
Pada dasarnya karya sastra memiliki
fungsi dulce et utile artinya karya sastra diciptakan untuk menghibur
sekaligus bermanfaat atau memberikan nilai-nilai tertentu (dalam Teeuw,
1984:183). Wujud karya sastra tak pernah bisa lepas dari latar belakang
pengarangnya. Kata-kata yang identik estetik dirangkai dengan balutan majas,
simbol-simbol dan perimaan membuatnya tak serta merta mudah dipahami secara
langsung oleh masyarakat umum. Oleh karenanya-lah sejatinya karya sastra
terutama puisi bisa ditafsirkan makna sesungguhnya hanya oleh pengarangnya
sendiri. Akan tetapi dalam marwah kesusastraan Indonesia ada tiga komponen
studi khusus yang menjadi substansi penting dalam mempelajari sastra yakni
sejarah sastra, teori sastra dan apresiasi karya sastra.
Dalam apresiasi
karya sastra setiap individu yang mengenyam pendidikan formal ataupun tidak
memiliki kedudukan yang sama rata dalam mengapresiasi khususnya dalam
memberikan penafsiran terhadap sebuah karya. Maka dari itu, di sini penulis
bermaksud untuk memberikan perspektifnya terhadap salah satu karya sastrawan
yang berpengaruh banyak pada perjalanannya selama mempelajari sastra dan
pergerakan selama menjadi mahasiswa kampus Tuguran. Penafsiran yang tak mutlak
kebenarannya ini kiranya jangan diterima secara mentah karena memang apresiasi
karya sastra bersifat relatif subjektif alias bergantung pada bagaimana latar
belakang idealisme dan ilmu pengetahuan yang dimiliki pengapresiasi sebagai
pisau analisis karya sastra yang ia tafsir.
Widji Tukul dan Orde Baru
Widji Thukul ialah
nama yang tak pernah bisa dijauhkan dari kenangan kelam rezim yang dikenal
abadi dengan otoriteriterianisme dan pembungkamannya yakni rezim Orde Baru yang
dinahkodai sosok presiden Soerharto selama 31 tahun (1967-1998). Hingga kini
bahkan rasa-rasanya ruh karya-karya Widji Thukul menjadi catatan histori
kesusastraan Indonesia yang kekal mekar karena menggambarkan beberapa fenomena
di zaman yang begitu kompleks atas problematika segala aspek kenegaraan
terutama sosial ekonomi dan pertahanan keamanan. Widji Thukul memiliki nama
asli Widji Widodo yang merupakan seorang sastrawan sekaligus aktivis hak asasi
manusia. Perjuangan Widji begitu bergejolak dalam melawan rezim Orde Baru
(orba) yang penuh dengan banyak penindasan bagi rakyat pada saat itu. Sejak
1998 keberadaan Widji Thukul tidak diketahui hingga detik ini dan hal ini
diduga kuat kaitannya dengan sikap rezim orba yang sengaja menculik kemudian
meniadakan Widji Thukul sampai saat ini.
Thukul, begitu
sapaan akrabnya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari
keluarga Katolik dengan keadaan ekonomi sederhana. Ayahnya adalah seorang
penarik becak, sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu
perekonomian keluarga. Thukul mulai menulis puisi sejak duduk di bangku Sekolah
Dasar dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan
kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis
bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pada Oktober
1989, Thukul menikah dengan istrinya Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat
itu berprofesi sebagai buruh. Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama
bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua
mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.
Thukul pernah
bersekolah di SMP N 8 Solo dan melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari. Thukul sempat memutuskan
untuk berhenti sekolah karena kesulitan keuangan. Dari hidup yang sulit, Thukul
aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung
Jagalan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani di
Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap
serta dipukuli militer. Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran
lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Tahun-tahun berikutnya
Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Tahun 1995 mengalami
cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam
aksi protes karyawan PT. Sritex. Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya
hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis yang hilang.
Kerusuhan pada Mei
1998 telah menyeret beberapa nama aktivis kedalam daftar pencarian aparat
Kopassus Mawar. Di antara para aktivis itu adalah aktivis dari Partai Rakyat
Demokratik, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, JAKKER,
pengusaha, mahasiswa, dan pelajar yang menghilang terhitung sejak bulan April
hingga Mei 1998. Semenjak bulan Juli 1996, Thukul sudah berpindah-pindah keluar
masuk daerah dari kota satu ke kota yang lain untuk bersembunyi dari kejaran
aparat. Dalam pelariannya itu Thukul tetap menulis puisi-puisi pro-demokrasi
yang salah satu di antaranya berjudul Para Jendral Marah-Marah. Pada tahun
2000, Sipon melaporkan hilangnya Thukul pada KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan), namun Thukul belum ditemukan hingga kini.
Kemudian saat itu Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan
Leak dan Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya
Widji Thukul berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diselenggarakan di
Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Karya Widji Thukul dan Bunga dalam
Pergerakan
Karya-karya Widji
Thukul identik dengan kecirikhasan diksi yang relatif sederhana alias mudah
dipahami pelbagai komponen lapisan masyarakat tetapi begitu apik dalam
menggambarkan keadaan sedemikian gamblang atas zaman yang penuh
penindasan, gejolak batin yang dihantui teror kekuasaan, perjalanan kaya akan
cerita penyamaran juga perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Kisah
pelarian Widji Thukul difilmkan sebagai ilustrasi sepenggal bagian kisah
perjalanan sosoknya dalam film “Istirahatlah Kata-kata” yang terinspirasi dari
puisi dan hidup Widji Thukul dengan Yosep Anggi Noen sebagai sutradaranya.
Sosok Widji yang diperankan Gunawan Maryanto dalam film “Istirahatlah
Kata-kata” digambarkan sebagai sosok yang tidak terlalu banyak berbicara tetapi
humanis, ramah, humoris, dan sederhana.
Memasuki karya
Widji Thukul yang berjudul Bunga dan Tembok tentu tak bisa terlepas dari
pengaruh khayalan sosok Thukul terhadap keadaan negara saat itu. Bunga identik
dengan gambaran perjuangan gerakan kaum buruh. Sosialisme, khususnya varian
sosialisme demokratik, juga mengadopsi bunga sebagai logo organisasi. Mahkota
bunga mewakili komunitas, merah adalah warna ideologis, duri melambangkan
perjuangan, dan ringkihnya fisik bunga itu sendiri merupakan lambang keberpihakan
pada kaum tertindas.
Politisasi bunga,
dari sekadar lambang simpati ke simbol gerakan buruh sosialis, bermula pada 1
Mei 1886 di Lapangan Haymarket, Chicago. Pada hari itu serikat-serikat buruh
nasional menggelar aksi mogok menuntut 8 jam kerja. Namun, begitu rombongan
dibubarkan aparat, seorang tak dikenal melempar bom ke arah polisi. Akhirnya
delapan orang tewas dan tiga buruh dipidana. Kaum sosialis dan para aktivis
serikat buruh mulai mengenakan anggrek merah di kerah untuk menunjukkan
solidaritas terhadap para pemimpin gerakan buruh yang didakwa sebagai
penghasut. Sejak itu mawar atau anggrek menjadi bagian dari perayaan Hari Buruh
Internasional.
Pasca Perang Dunia
II, mawar merah diadopsi sebagai simbol partai Sosialis dan Sosial Demokrat di
negara-negara Eropa Barat. Corak logo sebelumnya roda gigi, palu arit, bintang
merah dipandang terlalu maskulin. Mawar diajukan sebagai alternatif logo yang
netral secara gender.
Dalam syair dan
lirik, saking seringnya dikutip, bunga jadi metafor picisan cinta-cintaan.
Namun pada tahun 1912, selama tiga bulan slogan “kami butuh roti dan mawar”
diusung dengan gagah berani oleh para buruh perempuan yang tergabung dalam Industrial
Workers of the World (IWW) dalam aksi mogok di sebuah pabrik tekstil di
kota Lawrence, Massachussets. Mereka menuntut kenaikan upah 15 persen, jaminan
upah lembur, dan menolak kriminalisasi aktivis buruh. Saking terorganisirnya
gerakan ini, pemerintah setempat menurunkan milisi, menyogok beberapa anggota
serikat, dan menanam bom di beberapa tempat kerumunan di kota tersebut.
Pemogokan buruh
tekstil Lawrence yang berlangsung selama tiga bulan, gagal mencapai
tuntutannya, namun berhasil melambungkan “Bread and Roses”, lagu gubahan
seorang aktivis buruh James Oppenheim yang hingga kini identik dengan gerakan
feminis sosialis: “Tak semestinya kami diperas sepanjang hayat/ Hati pun bisa
selapar perut/ Kami butuh roti, juga mawar.”
Di saat bunga menjadi
lambang solidaritas, simpati, dan kelembutan, Wiji Thukul memberi sentuhan
garang pada bunga. Dalam syair “Bunga dan Tembok” (1987), ia menulis “Jika
kami bunga/ Engkau adalah tembok itu/ Tapi di tubuh tembok itu/ Telah kami
sebar biji-biji/ Suatu saat kami akan tumbuh bersama/ Dengan keyakinan: engkau
harus hancur!”. Bunga dalam imajinasi Thukul adalah keliaran organik yang tidak
dikehendaki tumbuh, yang dirontokkan penguasa penyembah pagar besi dan jalan
raya, sekaligus yang beranak-pinak tanpa bisa dikontrol dan akhirnya
menggerogoti kaki kekuasaan.
Kajian Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi
Bunga dan Tembok
Bunga sebagai
analogi pergerakan kaum buruh yang digambarkan Widji dalam puisinya tak
terlepas dari kehidupannya yang berkutik erat pada kehidupan buruh itu sendiri.
Widji menggambarkan bagaimana puisinya merepresentasikan keadaan bangsa
Indonesia yang sangat itu tengah marak gejolak konflik horizontal maupun
vertikal. Terlebih Widji memiliki keresahan tersendiri sebagai masyarakat sipil
yang terteror sikap represi pemerintah melalui aparat negara yang diperintah
untuk membungkam pemberi kritik-kritik yang ditujukan pada petinggi negara saat
itu. Rezim orba dengan segala bentuk keotoriterannya menjadi sarapan keseharian
mata Widji yang rutin kesulitan tidur dan terpaksa memenjarakan diri dalam
letihnya perjalanan pelarian yang berakhir dengan kasus penghilangan di tahun
1998.
Seumpama
bunga kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Seumpama
bunga kami adalah yang tak kau hendaki adanya
Seumpama
bunga kami adalah yang dirontokkan di bumi kami sendiri
Dalam kutipan puisi di atas, bunga yang dimaksud Widji
Thukul adalah kaum buruh yang selalu gencar melakukan gerakan melawan
ketidakadilan rezim orba. Sedangkan “kau” di dalam kutipan ini merupakan
analogi dari Soeharto beserta seluruh komponen rezimnya terutama kaum militer
yang terus menerus membunuh penyuaraan-penyuaraan keadilan dari masyarakat
sipil. Widji juga mengandaikan bahwa kaum buruh atau masyarakat sipil ialah
lapisan bangsa yang “dirontokkan” alias disiksa dan dimusnahkan di negaranya
sendiri akibat kepemimpinan negara yang bertangan besi.
Engkau lebih suka membangun rumah
merampas tanah
Engkau lebih suka membangun jalan
raya dan pagar besi
Bagian kutipan ini menganalogikan bagaimana pemerintah
pada saat itu lebih gemar membangun segala sesuatu yang bersifat hanya
menguntungkan pihak-pihak pemilik kekuasaan hingga merampas tanah milik rakyat
dan membangun sekat pembatas lapisan masyarakat sipil dengan pihak pemerintah
dan aparat melalui penggambaran “pagar besi” di antara tirani. Selain analogi
infrastruktur, orba juga memberikan sekat melalui sikap represif pada upaya-upaya
konfrontatif seperti penggembosan wacana-wacana demonstransi mahasiswa yang
akan mengkritik bahkan mengupayakan penurunan Soeharto sebagai presiden
Republik Indonesia.
Sebagai bukti era orba memiliki sinisme terhadap budaya
dialektika kritis kanal diskusi mahasiswa disudut-sudut kampus, penyitaan
buku-buku kiri, hingga penculikan-penculikan aktivis pergerakan mahasiswa.
Demonstransi selalu dihadang kendaraan pertahanan aparat negara, aktivis
ditindas kekerasan, orator dan profokator diteror, dan masih banyak lagi sisa
kelam penindasan rezim otoriter yang tercermin dalam puisi-puisi Widji Thukul
terutama dalam puisi Bunga dan Tembok.
Jika kami bunga engkaulah tembok
Tapi di tubuh tembok itu telah kami
sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus
hancur!
Dalam keyakinan kami
Dimana pun tirani harus tumbang!
Kutipan ini
dapat ditafsirkan dengan sudut yang menganggap bahwa tembok itu ialah tirani
yang didalangi Soeharto. Sedang Widji Thukul melalui karyanya secara tidak
langsung seolah-olah memberikan sumpah zaman bahwa ia dan seluruh pejuang
keadilan sezamannya telah menanamkan sisa perjuangan yang mustahil lumpuh
hingga era kapanpun, karena benih perjuangannya kelak akan tumbuh bersama
dengan membawa kepercayaan segala bentuk penindasan penguasa akan hancur dan
tirani pasti terus menerus ditumbangkan oleh rakyat sebagai komponen paling
kuat dalam tatanan sistem pemerintah yang menerapkan azas demokrasi.
Jadi, dapat diambil benang merah
bahwa puisi Widji Thukul berjudul Bunga dan Tembok yang juga dimusikalisasikan
oleh Fajar Merah selaku anak bungsunya ini merupakan wujud pedang perang yang
dimiliki oleh seorang sastrawan aktivis keadilan bangsa dalam menekukan tubuh
tirani rezim orde baru yang bertangan besi dengan segala keotoriteran
pemerintah dan kekejian aparat negara tetapi selalu termusuhi hanya oleh diksi-diksi
yang mengkritik dan menggelitik. Hal ini terbukti sampai saat ini bahkan
sekalipun raga Widji Thukul dihilangkan, jiwa dan karyanya selalu abadi di
tengah perjuangan rakyat multi zaman. Beberapa karyanya pun lekat dijadikan
aji-aji doktrin perjuangan mahasiswa sebagai elemen masyarakat sipil yang jiwa
mudanya beberapa kali tercatat dalam sejarah menjadi basis pemenangan
upaya-upaya reformis terhadap keadaan bangsa yang besar ini.
Daftar Pustaka
Diana, Fawzia. dkk. (2018). Sistem Presidensial
Indonesia dari Soekarno ke Jokowi (Edisi Revisi). Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).
Erdianto, Kristian. (2016). Kontras Paparkan 10
Kasus Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto. Kompas.com.
Firdausi, FA. (2020). Membungkam Pengkritik: Gaya
Rezim Orde Baru Melanggengkan Kekuasaan. Tirto.id.
Jusuf, Windu. (2017). Bunga dalam Tradisi Protes.
Tirto.Id.
Sendari, AA. (2019). Istirahatlah Kata-Kata, Film
Pelarian Widji Thukul dalam Ketakutannya. Liputan6.
(2020). Wikipedia: Soeharto. Online.
(2020). Wikipedia: Widji Thukul. Online.
0 Response to "Pembangkangan Melawan Tirani dalam Puisi Bunga dan Tembok Widji Thukul"
Posting Komentar